Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perubahan keenam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara (minerba) ditentang oleh sejumlah kalangan. Sebabnya, revisi ini dinilai bertentangan dengan Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan minerba dan merugikan ketahanan energi nasional.
Revisi ini pada pokoknya mengatur tentang perizinan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan perubahan statusnya jadi PKP2B menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Salah satu poin dalam draft revisi ini ialah memperlonggar pengajuan perpanjangan izin, dari yang semula paling cepat dua tahun dan paling lambat enam bulan sebelum kontrak berakhir, menjadi paling cepat lima tahun dan paling lambat satu tahun sebelum kontrak berakhir.
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman menilai, revisi PP ini dilakukan dengan tata cara yang janggal, sebab pembahasannya seolah-olah dilakukan secara diam-diam.
Padahal, lanjut Yusri, sebelum masuk ke dalam fase harmonisasi dengan berbagai kementerian terkait, idealnya revisi PP ini disosialisasikan terlebih dulu supaya mendapatkann masukan dari publik dan berbagai stakeholder terkait.
"Itu perlu agar revisi yang dihasilkan lebih komprehensif, mendalam dan bernilai. Sekarang kan muncul, tahu-tahu sudah masuk dalam fase harmonisasi di Kemenkumham," ujar Yusri dalam diskusi yang digelar Indonesian Resources Studies (IRESS), di kawasan Senayan, Rabu (12/12).
Sehingga, tambah Yusri, tak heran jika publik bersikap curiga, bahwa revisi PP yang dilakukan secara diam-diam ini dilakukan untuk mengakomodir segelintir pengusaha, alih-alih mengakomodir kepentingan nasional. "Padahal ini juga terkait dengan ketahanan energi nasional," katanya.
Lebih lanjut, pengamat hukum Sumber Daya Alam (SDA) Universitas Tarumanegara Ahmad Redi menyoroti, ada empat isu krusial yang terkandung dalam revisi PP ini. Yakni mengenai isu perubahan PKP2B menjadi IUPK, isu tentang luas wilayah, soal Barang Milik Negara (BMN), dan mengenai penerimaan negara.