Reporter: Sofyan Nur Hidayat | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Bisnis ramah lingkungan kini juga merambah ke bisnis kemasan. Banyak pebisnis yakin kalau plastik kemasan ramah lingkungan, yaitu yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan atau bio-degradable alias cepat terurai semakin merajai pasar.
Selain bisa terurai, produk-produk bio-degradable ini juga menjadi jawaban atas naiknya harga bahan baku plastik berbasis minyak bumi seperti polyethyelene (PE) dan polypropylene (PP) yang cenderung makin mahal.
Export Marketing Executive PT Inter Aneka Lestari Kimia Ferdinand Setiawan mengatakan, saat ini, plastik kemasan yang menggunakan bahan baku tumbuhan dan bisa terurai dengan cepat memang belum banyak digunakan. Maklum, saat ini harganya hampir dua kali lipat dari plastik berbahan baku produk turunan minyak bumi.
"Tapi lima tahun ke depan, harganya akan setara karena harga minyak naik terus," kata Ferdinand di sela-sela pameran Plastic & Rubber Indonesia 2011, akhir pekan kemarin.
Menurutnya, kenaikan harga bahan baku plastik berbasis tanaman seperti singkong dan minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) relatif tidak terlalu besar. Itulah sebabnya, ke depan, banyak industri yang akan beralih ke plastik kemasan bio-degradable.
Salah satu produsen plastik jenis yang bisa terurai cepat tersebut adalah Inter Aneka. Perusahaan yang memproduksi plastik full bio-degradable dengan merek Enviplast ini mempergunakan tepung tapioka atau singkong dan glycerin yang merupakan produk turunan CPO untuk membuat kemasan.
Saat ini, harga tepung tapioka dan glycerin yang diolah menjadi bijih plastik masih lebih mahal dari PE. Harga turunan PE yaitu HDPE dan LLDPE setiap kilogram sekitar US$ 1,5 (Rp 13.500) hingga US$ 1,6 (Rp 14.400). Sedangkan harga tepung tapioka Rp 7.000/kg dan glycerin US$ 2,7/kg. Berdasarkan harga tersebut, harga produk plastik kemasan bio-degradable Enviplast mencapai Rp 30.000/kg.
Meski begitu, produk Enviplast yang baru setahun diluncurkan mendapat respon yang positif dari pasar. Sejak Januari hingga November 2011, penjualan Enviplast mencapai 30 ton per bulan dengan harga rata-rata Rp 30.000/kg.
Tahun depan dengan banyaknya permintaan dalam dan luar negeri dari hasil promosi tahun ini, Ferdinand menargetkan penjualan Enviplast akan melonjak jadi 200 ton per bulan.
Enviplast sendiri menjual keunggulannya sebagai produk plastik yang bisa didegradasi dalam waktu tiga hingga enam bulan. Sedangkan plastik dari bahan baku berbasis minyak bumi membutuhkan waktu hingga ratusan tahun.
Namun kelemahannya, Enviplast akan meleleh jika terkena panas di atas 80 derajat celcius.
Di industri plastik hilir, kemasan ramah lingkungan memang telah menjadi tren. Tapi tidak semuanya menggunakan bahan baku dari tumbuhan. Beberapa pemain tetap menggunakan bahan baku berbasis minyak bumi tapi diberi campuran adiktif agar bisa didegradasi lebih cepat.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Aromatik, Olefin, dan Plastik Indonesia (INAPlas) Fajar A.D. Budiyono mengatakan salah satu perusahaan yang memproduksi green packaging dengan bahan baku berbasis minyak bumi adalah PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. Produk yang dihasilkan bernama Asren HDPE degradable.
"Produknya bisa terdegradasi lebih cepat disesuaikan dengan permintaan konsumen," kata Fajar. Selisih harga dengan plastik kemasan biasa menurutnya hanya 2% atau 3% lebih mahal.
Pasar produk green packaging sendiri menurutnya terbantu dengan adanya peraturan Pemda DKI Jakarta yang mewajibkan green packaging untuk shopping bag di tempat belanjaan modern di Jakarta.
Selain Chandra Asri, PT Tirta Marta yang juga memproduksi plastik ramah lingkungan bermerek Oxium dan Ecoplas. Produk itu masih menggunakan bahan baku plastik berbasis minyak bumi tapi diberi campuran bahan adiktif khusus. Hasilnya, plastik bisa terdegradasi lebih cepat yaitu sekitar dua tahun.
Sementara itu harga bahan baku plastik masih fluktuatif. Harga PE saat ini, kata Fajar mencapai US$ 1.550 per ton. Harga tersebut pernah naik hingga US$ 1.700 per ton pada pertengahan tahun ini. Sedangkan harga PP mencapai US$ 1.600 per ton dan sempat menyentuh angka US$ 1.875 di kurun waktu tersebut.
Direktur Pengembangan Bisnis Indonesian Packaging Federation (IPF), Ariana Susanti mengatakan kebutuhan plastik berbahan baku natural dipastikan akan terus meningkat. Maklum, saat ini pasar menuntut industri pengemasan lebih memperhatikan isu lingkungan hidup. "Green packaging merupakan tuntutan dunia saat ini," kata Ariana.
Ariana mengakui produsen green packaging di Indonesia masih sedikit dan belum berkembang. Namun ia optimis permintaan pasar terhadap produk kemasan ramah lingkungan akan terus naik dan mendorong pertumbuhan industrinya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News