Reporter: Veri Nurhansyah Tragistina | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Meski ekspor crude palm oil (CPO) terus menggeliat, ternyata tidak lantas mengerek produksi bibit kelapa sawit. Produksi kelapa sawit secara nasional masih jauh dari titik ideal.
Razak Purba, Manajer Bahan Tanaman Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) mengatakan, produksi bibit sawit di 2010 hanya 120 juta butir. Padahal, kapasitas terpasang produksi sawit secara nasional bisa mencapai 220 juta butir. "Produksi kita masih jauh dari ideal," ujarnya kepada KONTAN, Selasa (8/3).
Permintaan yang stagnan menjadi penyebab utama mandegnya produksi bibit sawit nasional. Razak bilang, produsen bibit sawit sejauh ini tidak memiliki hambatan apapun untuk menggenjot produksi. Namun, pihaknya tidak bisa langsung menggenjot produksi sampai titik maksimal, jika permintaannya memang tidak banyak. "Kita memproduksi bibit sesuai dengan jumlah permintaan," imbuh Razak.
Sekadar informasi, permintaan bibit sawit secara nasional rata-rata 186 juta ton. Sejumlah 120 juta ton dipasok oleh produsen dalam negeri, dan sisanya diimpor dari negara lain seperti Kosta Rika, Papua Nugini, dan Kolombia.
Razak menduga permintaan stagnan karena beberapa faktor, terutama sulitnya membuka lahan perkebunan baru. Perusahaan perkebunan maupun petani rakyat harus menghadapi izin yang panjang dan ketat untuk membuka lahan baru. Belum lagi adanya rencana moratorium hutan yang berpotensi mengerem laju ekspansi perkebunan sawit. "Imbasnya, permintaan bibit sawit segitu-segitu aja," kata Razak.
Kondisi ini berimbas pada harga bibit sawit yang bertahan di kisaran Rp 6.000 - Rp 9.000 per butir. Menurut Razak, harga ini bertahan sejak 2009 silam. Pada waktu itu, harga bibit sebenarnya sempat naik dari Rp 4.500 per butir pada 2008, menjadi Rp 6.000 - Rp 9.000 per butir pada awal 2009. "Namun sejak itu tidak ada kenaikan harga lagi," keluh Razak.
Asmar Arsyad, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menambahkan, produksi bibit sawit juga terhambat ketersediaan lahan induk (plasma nutfah). Di Medan saja, luas lahan induk hanya sekitar 400 hektare. Padahal, Medan adalah daerah utama yang paling diharapkan dalam produksi bibit sawit. "Akibatnya, produksi bibit sawit belum maksimal," ujarnya kepada KONTAN.
Pendapatan penyemai stagnan
Mandegnya produksi bibit berimbas pada pendapatan penyemai bibit sawit. Yuli Susanto, penyemai bibit sawit asal Kalimantan Selatan, mengatakan pendapatannya stagnan di angka Rp 460 juta - Rp 690 juta per tahun. Hitungannya, Yuli biasanya menyemai sekitar 200.000 - 300.000 bibit sawit per tahun. Setelah agak besar, bibit hasil semaian itu dijual seharga Rp 23.000 per pohon. "Pendapatan saya tetap segitu sejak 2009," katanya kepada KONTAN.
Yuli juga kerap dipusingkan dengan keberadaan bibit sawit palsu yang dijual kepada petani. Menurutnya, bibit ini dijual lebih murah dari bibit bersertifikat yang dijual olehnya. Harga satu pohon bibit palsu hanya Rp 15.000. Bandingkan, dengan bibit bersertifikat yang satu pohonnya bisa mencapai Rp 23.000 - Rp 25.000.
"Petani kan tidak tahu mana bibit asli mana yang palsu, yang penting ada yang lebih murah ya mereka beli," keluhnya. Efeknya, bibit hasil semaian Yuli membutuhkan waktu lebih lama untuk laku terjual.
Meski produksi tahun lalu mandeg, Razak optimis produksi bibit tahun ini bisa naik ke angka 160 juta butir. Ini didasarkan pada tren meningkatnya volume ekspor CPO dalam beberapa waktu terakhir. Razak berharap tren itu mengatrol ekspansi lahan sawit di beberapa daerah. "Yang ujung-ujungnya mengatrol produksi bibit sawit kita," jelasnya.
Asmar menimpali, kebutuhan bibit juga bakal meningkat seiring sudah banyaknya pohon yang berusia tua, lebih dari 25 tahun. Pohon itu terutama berasal dari perkebunan rakyat. Dia menduga, dari 3,3 juta hektare lahan perkebunan sawit milik rakyat, sekitar 1 juta hektarenya ditanami pohon yang sudah tua. "Ini harus cepat diganti, karena pohon tua itu produktivitasnya menurun jauh," kata Asmar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News