Reporter: Ardian Taufik Gesuri | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. PT Pertamina menyambut baik adanya alokasi anggaran di APBN 2020 untuk akuisisi ladang migas di luar negeri. Hal ini sebagai upaya memenuhi kebutuhan minyak di dalam negeri dengan cara cepat. Sebab, jika menunggu produksi suatu ladang migas di dalam negeri maka perlu waktu sekitar 7-10 tahun.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menjelaskan, saat ini memang ada beberapa lokasi ladang migas di luar negeri yang sedang dimonitor oleh perusahaan meskipun memang harus ada rencana juga untuk melakukan pendekatan secara government to government (G2G) agar rencana akuisisi menjadi lancar.
Baca Juga: Tahan laju penurunan produksi, SKK Migas gencarkan pelaksanaan EOR
"Kami sedang dalami dari semua aspek, bukan saja teknis tapi dari regulasi, sebab dari pengalaman kita regulasi bisa membuat pengembangan terhambat. Makanya perlu ada G2G agar bisa lebih baik. Ini sudah masuk dalam rencana kami," kata dia dalam acara Silaturahmi Direksi Pertamina dengan Pemimpin Redaksi Media, di Grand Hyatt Jakarta, Kamis (29/8).
Nicke menjelaskan, untuk melakukan akuisisi lapangan migas di luar negeri juga harus dilihat beberapa aspek, misalnya produksi sumur migas tersebut selama tiga sampai lima tahun trennya seperti apa, lalu bagaimana supply chain juga mesti dilihat agar produksi yang dilakukan bisa efisien. "Tahun depan belum ada rencana akuisisi, hanya saja kami masih memonitoring," imbuh dia.
Dia menerangkan bahwa Pertamina memang sudah memiliki portofolio lapangan migas yang sudah berproduksi di luar negeri, misalnya ada di Aljazair, Irak, dan Malaysia.
Baca Juga: Perluas digitalisasi hulu-hilir, Pertamina incar potensi hingga Rp 5 triliun
"Produksi kami di offshore sekitar 110.000 barel per hari dari luar negeri," imbuhnya. Selain itu, Dengan memiliki saham mayoritas perusahaan migas Prancis Maurel & Prom, Pertamina kini memiliki tambahan tiga blok yang sudah berproduksi di Nigeria, Tanzania, dan Gabon.
Meski produksinya besar, Nicke bilang, bila crude dibawa ke Indonesia, tetap saja dihitung sebagai impor sehingga membuat rapor impor crude menjadi merah. Maka dari itu pihaknya masih akan tetap mengoptimalkan produksi di dalam negeri.
Terkait produksi di luar negeri, memang ada yang dibawa pulang ada pula yang ditukar dengan produk BBM. Misalnya di Malaysia, hasil produksi minyak di sana ditukar dengan produk jadi.
"Di Malaysia itu kalau crude keluar kena pajak sangat besar, diluar itu bagaimana produksi (minyak dan gas) tidak keluar. Kalau kita terbalik, ekspor malah tak kena pajak, giliran jual ke Pertamina kena pajak." ujar dia.
Baca Juga: PEP Cepu sumbang laba US$ 700 juta ke holding, Dirut PEP Cepu: Kami bisa hattrick
Nicke berharap Indonesia memiliki ketahanan energi dan juga kemandirian energi dengan cara produksi minyak di dalam negeri lebih ditingkatkan. Untuk itulah kebijakan DMO untuk minyak harus tetap diterapkan.
"Kita harus kemandirian energi nasional dan suplai seluruhnya dari domestik. Kebijakan harus bagaimana prioritas agar dipersulit kalau ekspor crude," kata dia.
Kebijakan itulah yang bisa mengurangi Pertamina untuk impor minyak dan produk jadi. Sebab, produksi minyak dari KKKS bisa diolah di Indonesia. Seperti diketahui, saat ini Kementerian ESDM sudah membuat peraturan agar minyak bagian KKKS dijual ke Pertamina.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News