Reporter: Azis Husaini | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. PT Pertamina menyatakan, proyek Refinery Development Masterplan Program (RDMP) yang tengah dijalankan akan mampu mengolah minyak dengan kadar sulfur tinggi. Tujuannya agar menghasilkan minyak minimal memproduksi Pertamax.
Toharso, Direktur Pengolahan PT Pertamina mengatakan, tujuan proyek RDMP ada tiga. Pertama, proyek itu akan mengurangi impor minyak hingga 700.000 barel per hari (bph). Saat ini kapasitas produksi enam kilang sekitar 1.040.000 bph, tetapi karena setiap kilang ada perawatan dan mesti shut dow, maka berkurang sekitar 900.000 bph. Adapun kebutuhan BBM 1,6 juta bph.
Kedua, RDMP akan mampu memenuhi standar lingkungan European Emission Standards alias Euro5. Ketiga, kilang hasil RDMP itu akan mampu mengolah minyak dengan sulur tinggi menjadi minyak bersulfur rendah.
Meski minimal memproduksi Pertamax, Pertamina masih akan tetap memproduksi premium hingga masyarakat tidak membutuhkan lagi. Toharso mengatakan, pihaknya tidak bisa menghapus premium, karena masih ada yang membeli.
Terlebih saat ini ada kebijakan BBM satu harga jenis premium dan solar. "Kalau saya maunya hanya produksi Pertamax Turbo," ujar Toharso, dalam Media Gathering Direktorat Pengolahan, Senin (8/5).
Dia menyatakan, Pertamina hanya operator dan pemerintah sebagai pemegang saham membutuhkan BBM penugasan, yakni premium dan solar untuk masyarakat terluar, terdepan dan tertinggal. "Beda kalau revisi UU Migas meminta harus melakukan produksi dengan sulfur rendah," ujarnya.
Apalagi memang Pertamina sangat concern dengan isu lingkungan, sehingga kilang-kilang Pertamina ke depan memang menuju Euro 5 atau lebih dari yang disyaratkan, yakni Euro 4. "Kalau mau tahu, kami juga jual BBM ke agen pemegang merek isinya lima liter Pertamax, artinya apa? mereka saja sudah merekomendasikan Pertamax, bukan premium, tetapi ketika sudah jatuh ke pembeli tidak tahu diganti jenis BBM-nya," terang dia.
Mengolah sweet
Sementara itu, selama ini enam kilang Pertamina memang hanya bisa mengolah minyak mentah dengan jenis sweet crude oil atau minyak dengan sulfur rendah. Alhasil, jika mengolah minyak dengan sulfur tinggi akan merusak mesin kilang tersebut.
Toharso bercerita, agar mesin kilang Pertamina tidak rusak maka pihaknya melakukan blending. "Baru kami olah, karena kalau dimasukan langsung ya wassalamualaikum kilangnya," kata dia.
Sejak kilang Pertamina berdiri pasokan minyak sweet berasal dari Lapangan Duri yang dahulu bisa produksi 700.000 bph, tetapi saat ini hanya antara 200.000 bph sampai 300.000 bph. "Sekarang sulit mencari minyak sweet untuk kebutuhan 6 kilang itu," terang dia.
Saat ini pasokan dari lapangan Banyu Urip, Blok Cepu juga mesti blending agar bisa diolah di kilang. "Jenis minyak Lapangan Banyu Urip bersulfur tinggi," ujarnya.
Tak terkecuali minyak yang di impor sebanyak 1 juta barel dari Iran, sudah diuji coba dan hasilnya hanya bisa masuk sekitar 10% saja dari produksi 348.000 bph. "Sulfur minyak dari Iran tinggi," kata Toharso. Sementara di kilang lain, jenis minyak Iran tidak bisa diolah. Sejauh ini mayoritas minyak di Cilacap berasal dari Arab Saudi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News