Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja PT Pertamina (Persero) tengah menjadi sorotan. Pasalnya, Satuan Kerja Khusus Pelaksana kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat lifting sejumlah anak usaha Pertamina belum mencapai target lifting APBN pada Kuartal-I 2019 ini.
Produksi perusahaan minyak plat merah di sejumlah blok terminasi pun mengalami penurunan. Padahal, tak sedikit blok migas terminasi yang dilimpahkan kepada Pertamina. Dalam catatan Kontan.co.id, dari tahun 2017-2019 saja, setidaknya ada 10 blok migas yang dikelola oleh Pertamina.
Tak cukup dengan itu, Pertamina pun masih mengincar blok terminasi lainnya, yang terdekat adalah Blok Corridor. Di blok yang akan terminasi pada tahun 2023 itu, Pertamina tengah bersaing dengan ConocoPhillips dan Repsol.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengatakan, pemenang yang bisa mengelola Blok Corridor akan segera diputuskan. Meski tak menyebutkan secara jelas, namun Djoko yakin pemenang di Blok Corridor bisa diumumkan pada bulan ini.
"Mudah-mudahan bisa, nanti kita tunggu," ungkapnya disela Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI, Selasa (14/5).
Kendati demikian, Djoko enggan memberikan komentar soal penurunan produksi Pertamina di blok terminasi. Djoko juga tak memberi jawaban pasti, apakah kinerja Pertamina tersebut jadi pertimbangan pemerintah untuk kembali memberikan pengelolaan blok terminasi kepada Pertamina, atau kah tidak.
"Nanti kita lihat, ya tunggu saja," katanya.
Seperti yang diberitakan Kontan.co.id sebelumnya, Deputi Operasi SKK Migas Fatar Yani Abdurrahman membenarkan terjadinya penurunan produksi di sejumlah blok terminasi. "Iya penurunannya rata-rata 4%, masih oke lah," ujar Fatar.
Adapun, blok yang mencatatkan penurunan produksi paling banyak adalah Blok Mahakam. Dalam hal ini, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengungkapkan, tingkat penurunan (decline rate) yang tidak sesuai dengan perkiraan, menjadi alasan mengapa terjadi penurunan di blok tersebut.
"Sebetulnya Semester 2 tahu lalu (produksinya) sudah bagus, namun decline terjadi tidak sesuai rencana, jadi lebih rendah dari perkiraan," terangnya di depan Komisi VII DPR RI, Selasa (14/5).
Nicke mengaku, Pertamina sudah dan akan terus melakukan pengeboran (drilling) sumur secara agresif. Pada tahun ini, sambung Nicke, Pertamina merencanakan untuk melakukan 118 drilling.
Nicke bilang, jumlah tersebut dua kali lebih besar dibandingkan drilling yang dilakukan pada tahun lalu. "Itu dua kali lipat dari tahun 2018, yang sekitar 60 sumur yang kita lakukan (drilling). Tahun ini 118, artinya setiap tiga hari sekali kami lakukan drilling di satu sumur," terangnya.
Namun, Nicke mengatakan progres sampai akhir tahun ini belum mencapai sepertiganya. Alasannya, kata Nicke, proses pengerjaan yang membutuhkan rig dalam negeri ini cukup sulit, sehingga memerlukan waktu untuk tender.
Selain itu, pada awal tahun ini proses pemasangan rig dan pengerjaan drilling terkendala cuaca. Hal itu menyebabkan hasil pengeboran lebih rendah dari perkiraan.
"Seluruh upaya kita lakukan untuk mengejar (target). Memang karakter sumur tua tidak boleh menjadi alasan, karena harus tetap dioptimalkan," ungkapnya.
Adapun, berdasarkan data SKK Migas hingga 30 April 2019, Pertamina Hulu Mahakam (PHM) mencatatkan produksi sebanyak 37.510 bopd dan lifting sebesar 42.710 bopd atau 85% dari target lifting harian APBN sebesar 50.400 bopd.
PHM juga mengalami deccline rate yang lebih tinggi di akhir 2018, selain itu belum online-nya sejumlah sumur yang telah di bor merupakan penyebab belum tercapainya target lifting.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News