kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Projo dan Seknas Jokowi terbelah soal Gross Split


Rabu, 14 Desember 2016 / 16:33 WIB
Projo dan Seknas Jokowi terbelah soal Gross Split


Reporter: Azis Husaini | Editor: Azis Husaini

Jakarta. Dua elemen pendukung Presiden Joko Widodo terbelah atas rencana penerapan gross split yang akan mulai diterapkan Januari 2017. Menurut Dewan Pimpinan Pusat Pro Jokowi (Projo) skema bagi hasil memakai Gross Split bertujuan untuk akuntabilitas, efisiensi dan akselerasi. Sementara bagi Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi gross split untuk kontrak bagi hasil di sektor hulu minyak dan gas bumi bertentangan dengan UUD 1945.

Handoko Ketua Bidang Energi Dewan Pengurus Pusat PORJO menyatakan, Sejak 2004 Indonesia telah menjadi nett importer minyak. Cadangan Terbukti (proven reserve) migas Indonesia terus mengalami penurunan. Dari 5 miliar barel pada tahun 2005 menjadi 3,6 miliar barel pada 2015. Di sisi lain produksi (lifting) minyak di Indonesia juga mengalami penurunan. Dari 1096 bph pada 2005 menjadi 825 bph pada 2015. Sementara konsumsi meningkat dari 1303 bph pada 2005 menjadi 1628 pada 2015. Ironisnya, pengeluaran negara dalam bentuk Cost Recovery mengalami kenaikan yang signifikan terutama sepanjang periode 2004-2014.

Pada tahun 2000, angka cost recovery masih dibawah US$ 5 miliar dan menjadi di atas US$ 15 miliar per tahun ditahun 2011-2014 . tahun 2015-2016 angka cost recovery mengalami penurunan signifikan. Dari data-data diatas, tampak sekali bahwa meningkatnya biaya cost recovery tidak berkorelasi positif terhadap penemuan cadangan baru -terlihat dari tren penurunan cadangan terbukti- dan peningkatan lifting minyak.

Justru produksi minyak menurun sekitar 25% sepanjang 10 tahun terakhir. Dan gap antara produksi dengan konsumsi semakin melebar. Produksi minyak kita di 2015 hanya sebesar 50,6% dari konsumsi nasional. Dengan kata lain rezim Cost Recovery telah gagal menumbuhkan industri hulu migas nasional.

Selain statistik yang tidak menunjukkan korelasi positif dengan jumlah cadangan terbukti dan produksi, cost recovery juga memiliki kerawanan besar terhadap kemungkinan penyimpangan. Penggunaan APBN dalam jumlah besar memilki resiko munculnya mark-up dan biaya-biaya yang tidak perlu.  Banyak muncul kecurigaan atas akuntabilitas dan dan transparansi penentuan dan pengelolaan cost recovery. Kasus-kasus seputar pengelolaan cost recovery sudah sangat sering terjadi dan dicurigai merugikan keuangan negara dalam bilangan yang mencapai puluhan trilyun rupiah.

Persoalan lain yang dihadapi adalah hambatan birokrasi yang menyebabkan proses eksplorasi dan eksploitasi minyak berjalan lamban. Sebagai contoh, sering terjadi kegiatan eksploitasi tak kunjung bisa dieksekusi karena Plan of Development yang tak juga disepakati oleh pemerintah dan KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama). "Atas kebuntuan-kebuntuan tersebut diatas, pemerintah memang sudah seharusnya mencari jalan terobosan untuk meningkatkan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, yang merupakan pintu awal bagi terciptanya kedaulatan energi nasional," ungkap dia dalam siaran pers ke KONTAN, Rabu (14/12).

Menteri ESDM Ignatius Jonan dan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mewacanakan skema baru untuk menggantikan Cost Recovery, yakni skema GROSS SPLIT yang meniadakan pola reimbursement biaya yang dikeluarkan KKKS kepada pemerintah. Tentu dengan berbagai konsekuensi.

Dalam kerangka pengarusutamaan akuntabilitas, transparansi, efisiensi, dan akselerasi kegiatan eksplorasi dan produksi sektor hulu migas, skema Gross Split ini menarik untuk diterapkan dalam Production Sharing Contract dan menjadi langkah terobosan yang akan mengatasi kebuntuan pengembangan industri hulu migas nasional.

Atas dasar berbagai pertimbangan diatas, DPP PROJO mendukung diberlakukannya Skema Gross Split sebagai metode bagi hasil dalam Production Sharing Contract, dengan syarat tetap menjunjung tinggi kepentingan nasional yang telah diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 2 : Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Dan pasal 33 ayat 3: Bumi, air, dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Sementara itu, Tumpak Sitorus Ketua Bidang Energi Seknas Jokowi menyatakan, rencana Menteri dan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mienral (ESDM) menerapkan sistem gross split untuk kontrak bagi hasil di sektor hulu minyak dan gas bumi bertentangan dengan UUD 1945 dan mengkhianati program Nawacita Jokowi dimana Negara harus hadir dalam setiap sendi berkehidupan Ber-Bangsa dan Ber-Negara termasuk dalam pengelolaan hulu minyak dan gas bumi.

Dia menegaskan bahwa ada upaya-upaya dari pihak tertentu yang ingin menghilangkan kontrol dan peran Negara dalam pengelolaan strategis sumber daya alam Indonesia melalui penghapusan Cost Recovery dan menerapkan sistem bagi hasil dengan skema Gross Split.

Dalam kontrak kerja sama saat ini, menggunakan skema Bagi Hasil dengan cost recovery, Negara dalam hal ini diwakili oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi melakukan kontrol, pengawasan dan pengendalian, terhadap setiap rencana kerja dan anggaran yang dilakukan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) atau perusahaan minyak dan gas asing maupun nasional.

“Dengan sistem bagi hasil menggunakan cost recovery, Negara melalui SKK Migas bisa memaksa KKKS menempatkan dananya di bank BUMN, bisa memaksa KKKS mengurangi tenaga kerja asing, bisa memaksa KKKS menggunakan produk-produk Indonesia, bisa memaksa KKKS menggunakan produk pengusaha lokal, bisa memaksa KKKS menggunakan hasil petani lokal, bisa memaksa KKKS membantu mengembangkan kemampuan masyarakat lokal,” tegas Tumpak.

Hal, lanjutnya, itu berbeda sekali dengan sistem bagi hasil menggunakan skema Gross Split dimana KKKS diberi kewenangan penuh mengelola sendiri rencana anggaran dan kegiatan tanpa di kontrol oleh Negara. "Dengan demikian sistem pengelolaan hulu migas dengan skema Gross Split adalah upaya liberalisasi sektor hulu migas di Indonesia," kata dia.

Saat ini, Menteri dan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sedang berupaya membuat Peraturan Menteri ESDM untuk penerapan sistem bagi hasil dengan skema Gross Split untuk diberlakukan di dalam pengelolaan hulu minyak dan gas bumi di Indonesia. “Seknas Jokowi menolak tegas penerapan skema bagi hasil dengan sistem Gross Split karena bertentangan dengan Nawacita Jokowi. Ini sama saja dengan penghinaan dan pengkhianatan terhadap Presiden Jokowi,” tegasnya.

Seknas Jokowi, kata Tumpak, meminta Menteri dan Wamen ESDM tidak menjalankan kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dengan Nawacita Jokowi. “Kami ingin melanjutkan Pemerintahan Jokowi hingga tahun 2024 sehihgga kami ingin memastikan bahwa pembantu-pembantu Presiden sudah paham dengan langkah dan arah kebijakan Jokowi seperti tertuang dalam Nawacita,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×