Reporter: Gentur Putro Jati |
JAKARTA. Perusahaan listrik swasta yang tertarik menggarap pembangkit listrik panas bumi proyek 10.000 Mega Watt (MW) tahap II bisa tersenyum sumringah. Pemerintah berhitung setidaknya ada uang lebih dari US$ 280 juta yang bisa diperoleh perusahaan yang membangun pembangkit listrik panas bumi dari penjualan karbon.
Sugiharto Harsoprayitno, Direktur Pembinaan Pengusahaan Panas Bumi dan Pengelolaan Air Tanah Departemen ESDM menjelaskan dalam proyek 10.000 MW tahap II rencananya porsi pembangkit panas bumi yang akan dibangun sampai 2014 adalah sebanyak 4.733 MW.
Dalam hitungan Sugiharto, setiap pengembangan 1 MW listrik panas bumi akan dapat mengurangi emisi sebanyak 6.000 ton karbon. Sehingga kalau rencananya akan dibangun 4.733 MW akan berpotensi mengurangi emisi sebanyak 28,3 juta ton karbon.
"Lalu saat ini harga karbon terendah di pasar internasional adalah Euro 10 setara dengan US$ 12 per ton. Karena panas bumi tidak menghasilkan emisi, maka perusahaan pengembang itu secara total bisa mendapat penerimaan lebih dari US$ 280 juta," kata Sugiharto, Kamis (26/2).
Sugiharto menjelaskan, negara lah yang nantinya akan menerima pendapatan dari penjualan karbon tersebut. Sementara untuk perusahaan pengembang nya sendiri, sampai saat ini pemerintah sedang menimbang apakah akan memperhitungkan pendapatan dari penjualan karbon itu ke dalam harga listrik yang dibeli PT PLN (Persero) atau memberikan subsidi atas selisih harga yang diinginkan pengembang dengan yang disanggupi PLN.
"Katakanlah si pengembang meminta harga US$ 12 sen. Kalau PLN hanya sanggup membeli US$ 9 sen maka sisanya itu bisa dibayarkan dari penerimaan penjualan karbon yang kita jual tadi dalam bentuk subsidi. Sementara kalau dimasukkan ke dalam struktur harga langsung dibayarkan ke mereka," tambahnya.
Satu hal yang juga harus diperhatikan pemerintah kalau mau memperhitungkan penerimaan dari penjualan karbon dalam tarif listrik panas bumi adalah kemungkinan melesetnya kandungan panas bumi dalam lapangan yang akan dikembangkan.
"Pengembangan panas bumi itu kan setelah izin dikeluarkan baru lima tahun kemudian berproduksi. Bisa saja yang tadinya diperkirakan mampu memproduksi 100 MW ternyata hanya mampu 50MW. Padahal harga listriknya sudah dipatok dengan lelang di awal. Kalau harga sudah dipatok tapi kemampuan menghemat emisi nya berubah kan penerimaan dari penjualan karbon juga berubah. Harus dipikirkan caranya supaya tidak jadi masalah," kata Sugiharto.
Dalam rencana percepatan pengembangan listrik 10.000 MW tahap II bertenaga panas bumi, pemerintah menargetkan pengembangan sebanyak 4.733 MW bisa dimulai pada 2009 sampai 2014. Pengembangan akan dilakukan bertahap dimana pada 2009 akan dikembangkan 117 MW, 2010 akan dikembangkan sebanyak 70 MW, 2011 akan dikembangkan 158 MW, 2012 dikembangkan sebanyak 973 MW, 2013 sebanyak 795 MW dan 2014 sebanyak 2.620 MW.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News