Reporter: Agustinus Beo Da Costa | Editor: Dadan M. Ramdan
JAKARTA - Pemerintah perlu berpikir ulang memutuskan pembangun Pelabuhan Cilamaya di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, karena bisa mengganggu produksi minyak dan gas (migas) nasional. Setidaknya, ada lima sumur milik PT Pertamina Hulu Energi (PHE) ONWJ tidak bisa dieksplorasi dan diproduksi akibat bersinggungan dengan menjadi jalur lalu-lintas kapal ke pelabuhan, selain beberapa anjungan produksi yang sudah ada yang juga terancam ditutup.
"Pada intinya, Pelabuhan Cilamaya mengganggu akses ke lahan migas. Padahal, produksi migas harus mendapat prioritas untuk diamankan," tandas dosen tamu Universitas Indonesia Dirgo W Purbo, dalam keterangan tertulis kepada Kontan, Jumat (15/8/2014).
Jadi, imbuh Dirgo, apapun yang menghambat eksplorasi dan produksi minyak harus dikesampingkan. Pembangunan pelabuhan tersebut tentunya akan mengancam target lifting minyak Indonesia yang belakangan terus menurun. Terlebih, meningkatkan produksi minyak nasional merupakan prioritas utama atau nomor satu, sehingga pembangunan pelabuhan yang akan menghambat produksi minyak nasional itu merupakan skala prioritas nomor sekian.
"Produksi migas harusnya menjadi skala priorotas nomor satu. Jadi, kalau ada yang menghalangi, atau ada sesuatu hal yang akan dibangun dalam konteks bisa menghambat produksi minyak, justru itu jadi prioritas kedua atau ketiga," tandasnya.
Prioritas utama nasional adalah meningkatkan produksi minyak nasional, karena saat ini produksinya terus menurun. Kalau lima sumur di wilayah tersebut tidak bisa dibangun, maka produksi minyak negeri ini kian anjlok. "Saat ini jumlah produksi minyak nasional hanya 780 ribu barel per hari, tidak sampai 800 ribu barrel. Padahal target produksi/lifting minyak bumi Indonesia harusnya mencapai 1 juta barrel per hari," kata Dirgo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News