Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Rencana proyek pembangunan pelabuhan Cilamaya di Karawang, Jawa Barat mengundang pro dan kontra. Sejumlah pihak menyoroti rencanan pembangunan proyek ini.
Sejumlah, ekonom diantaranya dari Universitas Pelita Harapan Tjipta Lesmana, Peneliti dari Peneliti Oxfam dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan Ayip Abdullah, analis Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati, hingga pengamat kebijakan publik Ichsanoodin Noorsy, dan para pelaku Industri, khususnya BUMN di Jawa Barat dan Banten, serta Ketua DPP Partai Demokrat Khotibul Umam Wiranu, mendesak pemerintah untuk membatalkan rencana pembangunan Pelabuhan di Cilamaya dan merelokasinya ke Jawa Tengah.
“Ironis jika pemerintah hanya mementingkan pembangunan pelabuhan tersebut demi melayani produsen otomotif, terutama yang memproduksi kendaraan murah,” ujar Tjipta Lesmana melalui siaran pers, Rabu (19/11)
Ia menilai, di tengah krisis BBM, antara lain disebabkan oleh industri otomotif yang tidak terkontrol, pemerintah malah menganak emaskan para investor otomotif yang mayoritas berasal dari Jepang tersebut. “Ini kontradiktif sekali. Apakah ini kepentingan Jepang? Yang saya tahu, pabrik mobil mereknya ada di sana semua. Jadi butuh pelabuhan. Terlebih kalau konsultan perencanaannya dari Jepang," ungkapnya.
Ia pun mendesak pemerintah membatalkan rencana yang diinisiasi oleh Pemerintah Jepang tersebut. Karena menggangu sejumlah aset nasional yang selama ini memberi pemasukan terbesar bagi APBN. “Batalkan saja, daripada kita cari sumur migas baru, yang pastinya akan menyusahkan. Kalau sumur sampai harus ditutup, tentu pemerintah Indonesia sangat rugi, sebaiknya dibatalkan, rugi kita," tandasnya.
Desakan serupa disampaikan peneliti dari Oxfam, yang juga aktivis Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan Ayip Abdullah. Menurut Ayip, Pelabuhan Cilamaya setidaknya akan mengalihfungsikan sebanyak 600 hektar lahan pertanian aktif di daerah Karawang. “Pertanian di kawasan ini menghasilkan 300 ton per musim untuk menyangga kebutuhan pangan nasional. “Padahal, Karawang merupakan wilayah yang menjadi tolak ukur dalam peningkatan produksi beras dan menjadi basis swasembada beras,” tandasnya.
Ia menambahkan, berdasarkan catatan Oxfam di Karawang tahun 2011 telah terjadi alih fungsi lahan sekitar 180 hektare sampai dengan 2000 hektar sawah untuk kepentingan industri otomotif dan ritel. Jika Pelabuhan Cilamaya dipaksakan, maka alih fungsi lahan pertanian akan kian marak.
“Saat ini, luasan baku pertanian kian menyusut dari 94 ribu hektar menjadi 92 ribu hektar. Belum lagi nanti ada proyek pembangunan pelabuhan. Pastinya, alih fungsi lahan akan terus bertambah. Karawang sebagai basis swasembada pangan, tidak mampu mempertahankannya, gara-gara banyaknya alih fungsi lahan untuk kepentingan lain,” tandasnya.
Pembangunan pondasi jalan dan jembatan untuk menyangga pelabuhan juga akan menutup akses pengairan pada beberapa hektar lahan sekitarnya. Di samping itu, adanya penerangan lampu jalan diperkirakan akan meningkatkan serangan hama. Terutama hama pengerek batang. “Bisa dibayangkan, bagaimana besarnya ancaman di sektor pertanian bila pelabuhan itu jadi dibangun,” imbuhnya.
Sementara itu, analis Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, meminta pemerintah bersikap konsisten terhadap Rencana Umum Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) supaya tidak saling tumpang tindih. “Pelabuhan di Cilamaya akan mengganggu potensi minyak, itu yang seharusnya dikoordinasikan jauh-jauh hari. Sektor energi di Cilamaya ini sangat menopang industri, dan sektor industri tentunya tidak boleh mematikan sektor itu. Itu akibat ego sektoral yang harus dijauhkan untuk ke depan," ujarnya.
Menurut Enny, ekplorasi migas di Cilamaya, selama ini memberikan devisa bagi negara hingga sebesar Rp 20 Triliyun per tahun. Jika Pelabuhan Cilamaya dipaksakan, maka negara merugi Rp 900 triliyun karena hilangnya aset nasional, ditambah kehilangan potensi pendapatan negara.
Desakan serupa juga disampaikan Pengamat Ekonomi dan Kebijakan Publik, Ichsanoddin Noorsy. “Dalam proyek pembangunan pelabuhan Cilamaya ini, pemerintah tidak mencermati kajian awal Analisis Dampak Lingkungan (Amdal). Misalnya posisi pelabuhan yang kurang tepat karena kedalaman laut yang kurang mendukung. Sekarang timbul persoalan lain mengenai masalah produksi minyak di lokasi,” katanya.
Jika dipaksakan, maka bakal berbenturan dengan kepentingan nasional yang sangat vital. Solusinya, pelabuhan Cilamaya dipindah ke lokasi yang tidak menganggu sektor. Alternatifnya, dipindahkan ke Jawa Tengah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News