Reporter: Ika Puspitasari | Editor: Handoyo .
“Untuk sementara Pabrik pengolahan skala kecil ini, kami gunakan sebagai laboratorium produksi rare earth element (REE). Di samping untuk meneliti aspek teknis proses pengolahannya, juga meneliti seberapa besar skala potensi produksinya,” ungkapnya.
Dalam berita Kontan.co.id sebelumnya, smelter REE ini akan memiliki kapasitas produksi 500 ton per tahun dengan nilai investasi sebesar Rp 100 miliar dengan luas 110 hektare.
Selama pembangunannya, ada beberapa hal yang menjadi kendala yang membuat tertundanya komersialisasi proyek ini. “Pertama, adanya unsur thorium yang dapat menjadi bahan baku nuklir sehingga kami harus melakukan kerja sama dengan BATAN sebagai perusahaan yang diperbolehkan. ” tuturnya.
Kedua,kata emil, pihaknya juga tengah memastikan metodologi yang sesuai agar menghasilkan suatu potensi skala produksi yang ekonomis. “Karena sesuai namanya, volume kandungannya relatif kecil. Untuk itu, tim kami sedang terus meneliti dan menghitung bagaimana model bisnis dengan mempertimbangkan berapa besar potensi yang ada, tingkat teknologi yang dibutuhkan, nilai investasi, besar skala bisnis, dan faktor pertimbangan studi kelayakan lainnya,” ungkap Emil.
Yang pasti, saat ini kandungan REE ini sudah mencapai sekitar 2%-5% dari 100% bijih timah. Nantinya, TINS bakal memasarkan ke negara-negara industri elektronik seperti Jepang dan Korea.
"Jadi secara umum dapat dikatakan kami masih terkendala soal perizinan mengingat mineral ini juga dapat dijadikan bajan baku nuklir sehingga butuh perijinan sampai pengawasan khusus,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News