Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Pratama Guitarra
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. JAKARTA. PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) siap untuk mengakuisisi bekas wilayah tambang batubara PT Asmin Koalindo Tuhup (AKT). Pasalnya, jika tak ada aral, tambang batubara di Kalimantan Tengah itu bakal diprioritaskan untuk dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Direktur Utama PTBA Arviyan Arifin mengungkapkan, jika evaluasi dari pemerintah sudah selesai dan ada penawaran prioritas untuk BUMN, PTBA membuka peluang mengambil alih bekas wilayah tambang AKT tersebut. Namun, ada sejumlah syarat yang akan dipertimbangkan PTBA.
Arviyan menegaskan, PTBA akan terlebih dulu melakukan uji kelayakan terhadap lahan tambang yang ditawarkan itu. "Kita ikuti aturan pemerintah saja. Kalau kajian kita layak secara bisnis, tentu (AKT) kita akan ambil alih, sepanjang kajian bisnis menyatakan layak," ungkap Arviyan kepada Kontan.co.id, Minggu (12/7).
Baca Juga: Eks wilayah tambang batubara Asmin Koalindo Tuhup diprioritaskan untuk BUMN
Arviyan memang tak merinci kriteria apa yang dipertimbangkan PTBA. Yang jelas, jumlah cadangan dan potensi sumber daya batubara yang ada di wilayan tambang AKT akan menjadi pertimbangan utama. "Itu bagian dari kajian bisnis yang akan kita lakukan," sebut Arviyan.
Dihubungi terpisah, Direktur Bina Program Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Muhammad Wafid Agung membeberkan, sampai sekarang status eks lahan tambang AKT masih dalam proses evaluasi untuk ditetapkan Wilayah Pencadangan Negara (WPN) atau Wilayan Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).
Wafid bilang, proses itu sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 122 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 (UU Minerba) yang telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2020, Pasal 75 ayat (3) dan (4).
Beleid tersebut mengatur bahwa WIUP atau WIUPK yang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau IUP Khusus (IUPK) berakhir ditawarkan kepada BUMN, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), badan usaha swasta, koperasi, atau perusahaan perseorangan.
Baca Juga: Dinilai Melanggar Asas Keterbukaan, UU Minerba Digugat
Adapun, proses untuk mendapatkan WIUPK dilakukan dalam bentuk penawaran prioritas terlebih dulu kepada BUMN dan/atau BUMD. Sedangkan proses lelang kepada badan usaha swasta akan dilaksanakan jika BUMN dan/atau BUMD tidak berminat atau tidak dapat memenuhi ketentuan.
"Sejauh ini belum ada penetapan WIUPK untuk wilayah eks PT AKT sehingga belum ada proses penawaran prioritas kepada BUMN dan/atau BUMD," kata Wafid saat dihubungi Kontan.co.id, Sabtu (11/7).
Kata dia, untuk pemberian prioritas atas WIUPK eks AKT, pemerintah masih mempertimbangkan pemenuhan kewajiban aspek lingkungan dari PT AKT. Termasuk juga terkait pemindahan aset PT AKT sesuai ketentuan kontrak. Hal penting lainnya, tegas Wafid, kelanjutan proses hukum yang menyangkut AKT harus ada putusan final (inkracht) terlebih dulu.
Yang jelas, Wafid memastikan bahwa tidak ada lagi kegiatan operasional pertambangan di wilayah seluas 21.630 hektare (ha) yang berlokasi di Kabupaten Murung Raya Kalimantah Tengah itu. Sebab, sejak diterbitkannya Surat Keputusan (SK) pengakhiran Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B), PT AKT tidak lagi memiliki hak untuk melakukan kegiatan pertambangan.
Baca Juga: Harga komoditas melemah, sejumlah emiten batubara masih pasang target optimistis
"Kegiatan PT AKT hanya terbatas pada pengamanan aset, inventory sesuai ketentuan kontrak dan pemenuhan kewajiban lingkungan," sebut Wafid.
Sedangkan mengenai jumlah potensi cadangan dan sumber daya yang masih tersisa, Wafid menyebut bahwa hal tersebut masih harus dikaji secara lebih detail. "Untuk menentukan sumber daya layak atau tidak, harus melalui kegiatan eksplorasi dan penyusunan studi kelayakan," imbuhnya.
Asal tahu saja, batubara yang diproduksi AKT masuk ke dalam jenis hard coking yang biasanya dijual dengan harga premium dengan biaya produksi yang relatif rendah. Batubara jenis ini biasanya digunakan dalam pembuatan coke atau kokas untuk industri pembuatan baja dan besi.
Baca Juga: Emiten kontraktor batubara masih pasang target optimistis
Namun, pada 19 Oktober 2017, kontrak PKP2B AKT diterminasi alias diakhiri melalui SK Menteri ESDMĀ Nomor 3714 K/30/MEM 2017. Keputusan itu diberikan setelah Kementerian ESDM melayangkan tiga kali teguran kepada AKT.
Pasalnya, induk usaha AKT yakni PT Borneo Lumbung Energi & Metal (BLEM) menjaminkan AKT kepada Standard Chartered Bank tanpa mendapatkan persetujuan dari pemerintah. Kasus BLEM dan AKT ini makin pelik karena tersangkut juga kasus dugaan korupsi yang saat ini masih ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News