Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Bukit Asam Tbk (PTBA), anggota grup holding pertambangan Indonesia MIND ID mengungkapkan, update terbaru mengenai produk hilirisasi batubara yang dimiliki.
Menurut Direktur Utama (Dirut) PTBA, Arsal Ismail saat ini perseroan telah memiliki beberapa jenis hilirisasi dari batubara. Yang paling anyar terdengar adalah hilirisasi batubara menjadi Dimetil Eter (Dimethyl Ether), yang diklaim dapat menjadi substitusi dari Liquefied Petroleum Gas (LPG).
"Merepresentasikan produk-produk yang sedang kami kembangkan, dan kami teliti lebih lanjut, seperti DME, SNG, Artificial Graphite, Anoda Sheet, dan Asam Humat," ungkap Arsal di DPR, Senin (5/5).
Baca Juga: Proyek Gas Sintesis PTBA-PGAS Butuh US$ 3,2 Miliar
Selain DME, saat ini, PTBA juga tengah mengembangkan kerjasama hilirisasi batubara dengan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) dalam bentuk Synthetic Natural Gas (SNG).
Kemudian ada pula Grafit Sintetis atau Artificial Graphite yang digunakan untuk bahan baku baterai Lithium-ion (Li-ion) dalam kendaraan listrik atau electric vechile (EV). Grafit Sintetis ini dikembangkan bersama bahan baku EV lainnya yaitu Anode Sheet.
Untuk kebutuhan pupuk, PTBA juga melaporkan telah melakukan penelitian hiliriasi batubara dalam bentuk asam humat. Zat ini dikembangkan dari batubara kalori rendah guna menjaga kadar keasaman tanah.
Dari berapa produk hilirisasi batubara yang dimiliki PTBA, ternyata terdapat kelebihan dan kekurangan, yang dapat menjadi pertimbangan dalam memilih proyek hilirisasi prioritas, sebagai berikut:
Baca Juga: Cermati Rekomendasi Saham AUTO, TPIA, dan PTBA untuk Perdagangan Hari Ini
1. Dimetil Eter (DME)
Proyek DME PTBA, pertama kali disepakati pada tanggal 10 Desember 2020. Dengan anggota konsorsium kerjasama yaitu PTBA sebagai supplier atau pemasok batubara, PT Pertamina (Persero) bertindak sebagai off taker.
Dan perusahaan gas asal Amerika, Air Products and Chemicals, Inc. sebagai pihak yang menyediakan teknologi dan membawa pendanaan dalam proyek ini.
Sayangnya, Air Products memutuskan hengkang dari proyek ini dengan alasan nilai keekonomian dan dan potensi pengembangan bisnis di AS.
Usai ditinggal, proyek DME ini seakan jalan di tempat. Menurut Arshal, ini karena nilai keekonomian dari DME masih melampaui harga LPG impor. Sehingga diperlukan subsidi agar harga bisa diterima di pasaran.
Menurut perhitungan, harga DME yang dapat dihasilkan yakni senilai US$ 911 hingga US$ 987 per ton atau lebih besar dari harga patokan DME yang diusulkan oleh Kementerian ESDM pada 2021 yakni sebesar US$617 per ton yang merupakan harga pasar, namun belum termasuk subsidi.
Baca Juga: Usai Air Product Cabut, PTBA Ungkap Proyek DME Dilirik China
Jika berjalan, dengan harga di atas, maka nilai subsidi untuk DME adalah sebesar US$ 710 per ton atau lebih besar dibandingkan nilai subsidi untuk LPG pada kesetaraan DME saat ini yaitu US$ 474 per ton.
"Analisa perhitungan kami masih lebih tinggi dari harga LPG Impor. Yang kedua, ada sejumlah tantangan teknis yang disampaikan Pertamina (sebagai offtaker)," ungkapnya.
Tantangan teknis ini meliputi infrastruktur gas seperti jalur distribusi dan perangkat kompor rumah tangga yang kompatibel dengan DME.
Sebelumnya, Direktur Portofolio dan Pengembangan Usaha MIND ID, Dilo Seno Widagdo menyebut dalam perhitungan pihaknya, harga gas LPG yang berasal dari DME jauh lebih mahal dibandingkan jika pemerintah mengimpor LPG dari Arab Saudi melalui Saudi Aramco.
"Dari hasil sensitifiti-nya, harga DME (tercapai) itu kalau harga LPG-nya di Saudi Aramco di atas US$ 1.000 (per ton metrik), itu seharusnya baru bisa ekonomis," ungkapnya.
Ia juga menjelaskan, harga DME sebagai substitusi LPG bisa tercapai jika harga LPG impor dari Saudi Aramco naik hingga di atas US$ 1.000 per ton metrik (MT). Artinya nilai keekonomian dari DME hanya bisa tercapai jika harga LPG impor lebih tinggi.
Baca Juga: Laba Anjlok 50% di Kuartal I-2025, Bos PTBA Ungkap Penyebabnya
2. Synthetic Natural Gas (SNG)
Hilirisasi dalam bentuk SNG dikembangkan PTBA bersama PGN, menurut Arsal, proyek ini membutuhkan dana investasi sebesar US$ 3,2 miliar untuk pembangunan pabrik.
"Berdasarkan kajian awal bersama PGN, estimasi kebutuhan investasi pabrik proyek ini adalah sebesar US$ 3,2 miliar," kata Arsal.
Adapun, SNG akan fokus memanfaatkan cadangan batubara kalori rendah milik PTBA atau dengan nilai GAR (Gross As Received) kisaran 3.700.
"PTBA karena cadangannya sangat besar, sekitar 2,9 miliar (ton), ini ada beberapa cadangan batubaranya yang berkalori rendah yang sangat sesuai untuk dikompersi menjadi gas sintetis," kata dia.
Untuk tahap terkini, kerjasama ini telah berada dalam Studi kelayakan (feasibility study) dengan target front-end engineering design atau FEED pada tahun 2026. Diikuti dengan penandatanganan perjanjian kerjasama, keputusan investasi final, proses pembiayaan, dan perizinan.
"Bila seluruh proses ini berjalan sesuai rencana maka pekerjaan lapangan ditargetkan dimulai pada tahun 2028 dan operasional komersialnya pada tahun 2032," ungkap Arsal.
Baca Juga: PTBA Ungkap Kendala Pertamina Sebagai Offtaker Proyek DME
3. Grafit Sintetis dan Anode Sheet
Pengembangan hilirisasi batubara dalam bentuk grafit sintetis dan anoda sheet telah ditandai dengan diluncurkan soft launching atas pilot project dari Artificial Graphite dan Anode Sheet di Kawasan Industri Tanjung Enim, Senin (15/7) tahun 2024 lalu.
Dalam perkembangan terbaru, proyek yang digarap PTBA bersama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) ini masih dalam tahap penyusunan dan pemutakhiran desain teknik dasar (basic engineering design) yang ditargetkan selesai akhir tahun 2025.
Adapun dana yang dibutuhkan untuk pembangunan pilot plan hilirisasi batu bara menjadi grafit sintetis hanya sebesar Rp 287 miliar.
"Kami merencanakan pembangunan pilot plan di Tanjung Enim dan pada tahun 2026 sebagai langkah lanjutan menuju skala komersial," ucap Arsal.
Dalam catatan Kontan, PTBA telah menggandeng produsen baterai terbesar asal Tiongkok, Contemporary Amperex Technology Co Limited (CATL)untuk pengembangan grafit sintetis atau synthetic graphite ini.
"Dengan prototipe baterai hasil kolaborasi Bukit Asam dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional yakni BA-ARIN tipe 18650, kami berupaya memperkuat posisi sebagai penopang utama hilirisasi sektor pertambangan nasional," ujar Dilo dalam keterangan resminya. Kamis (6/2).
Baca Juga: Kuartal I 2025, Laba Bersih Bukit Asam (PTBA) Turun 50,5% jadi Rp 391,48 miliar
4. Asam Humat
Produk hilirisasi yang bersumber dari batubara kalori rendah lainnya adalah Asam Humat, Arsal bilang produk ini dikembangkan PTBA bersama Universitas Gajah Mada (UGM) melalui kegiatan riset dan pengembangan.
"Kami sedang mempersiapkan pembangunan prototipe skala awal dengan memanfaatkan batubara kalori rendah dari salah satu tambang kami yang berlokasi di Pranab, Riau. Kapasitas awal yang direncanakan sebesar 60 ton batubara per tahun dengan estimasi produksi 21 ton asam humat per tahun," jelasnya.
Adapun, dari sisi pendanaan proyek ini akan menggunakan kas internal PTBA dengan target komisioning pada tahun 2025.
"Jadi kami akan melakukan evaluasi teknik dan kekalian keekonomiannya sebagai dasar keputusan menuju skala komersial pada tahun 2026," tutupnya.
Selanjutnya: Aksesmu Rayakan Perjuangan Warung Mikro Lewat Program THR Ramadan
Menarik Dibaca: Promo Bakmi GM Daebak Combo, Nikmati Paket Bakmi Ayam Bulgogi Mulai Rp 45.000-an
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News