kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.430.000   -10.000   -0,69%
  • USD/IDR 15.243   97,00   0,63%
  • IDX 7.892   63,27   0,81%
  • KOMPAS100 1.206   10,13   0,85%
  • LQ45 979   8,98   0,93%
  • ISSI 229   0,84   0,37%
  • IDX30 499   4,39   0,89%
  • IDXHIDIV20 602   5,24   0,88%
  • IDX80 137   1,09   0,80%
  • IDXV30 140   0,40   0,28%
  • IDXQ30 167   1,34   0,81%

Puluhan Proyek Smelter Berada di Kawasan Berisiko Tinggi Bencana Alam


Selasa, 13 Agustus 2024 / 19:25 WIB
Puluhan Proyek Smelter Berada di Kawasan Berisiko Tinggi Bencana Alam
ILUSTRASI. Proyek smelter tembaga milik PT Freeport Indonesia (PTFI) di kawasan industri JIIPE, Gresik, Jawa Timur (29/2/2024).


Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah Indonesia harus mengevaluasi seluruh pemberian izin pertambangan, proyek PLTU batubara hingga smelter yang tidak memperhitungkan posisi Indonesia, sebagai wilayah yang unik karena memiliki karakteristik sosial, kultural, ekologi, iklim dan geologis di antaranya karena bentang geologisnya yang dipeluk erat potensi megathrust. 

Selanjutnya, pemerintah Indonesia harus menghentikan toleransi bagi pendekatan pembangunan yang hanya menggunakan pendekatan manfaat ekonomi investasi tanpa memperhitungkan kerentanan dan kerawanan, termasuk terus dilangsungkannya pembangunan ekonomi investasi yang bersumber dari ekstraktivisme pertambangan, smelter dan PLTU batubara.

Direktur Program Trend Asia, Ahmad Ashov Birry mengatakan, saat ini total terdapat 41 smelter yang sedang direncanakan, dalam proses pembangunan dan sebagian sudah berdiri. 

Baca Juga: Walhi: Tindak Tegas Perusahaan Nikel yang Abai Lingkungan

"Koalisi masyarakat sipil melakukan pemetaan atas proyek smelter yang berada di kawasan berisiko tinggi bencana," katanya dikutip KONTAN, Selasa (13/8/2024). 

Pertama, terdapat 14 smelter berada di kawasan berisiko tinggi bencana tanah longsor yang tersebar di Jawa, Sumatra, Sulawesi dan Maluku yang didominasi smelter untuk bauksit dan nikel. 

Kedua, terdapat 32 smelter berada di kawasan berisiko tinggi bencana banjir yang terbanyak tersebar di Pulau Sulawesi, terutama di Sulawesi Tenggara dengan didominasi oleh smelter nikel, sisanya di smelter bauksit di Kalimantan Barat. 

Ketiga, terdapat 18 smelter berada di kawasan berisiko tinggi bencana gempa bumi yang terbanyak berada di smelter nikel di Sulawesi Tenggara. Keempat, sebagian berikutnya smelter pasir besi dan bijih besi hingga tembaga di Jawa dan Kalimantan Barat. 

Baca Juga: Kerugian Akibat Perubahan Iklim Indonesia Berpotensi Tembus Rp 123 triliun pada 2050

Adapun dampak keberadaan smelter di lokasi rawan bencana seperti terjadi pada Agustus 2020 silam, setelah hujan deras mengguyur, kompleks industri, Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara yang terendam banjir. 

"Selain faktor cuaca, area berdirinya kompleks ini juga berada di kawasan berisiko bencana banjir. Akibatnya, smelter dihentikan sementara," sebut Ashov Birry.

Mengingat ancaman kebencaaan akibat aktivitas industri ekstraktif dapat menimbulkan kerugian ekonomi bagi masyatakat akibat kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya, maka pemerintah harus melakukan audit secara luas dan pemeriksaan menyeluruh kepada industri ekstraktif yang beroperasi atau hendak beroperasi dalam atau di sekitar kawasan dengan risiko bencana. 

Ashov Birry menegaskan, audit harus dilakukan secara transparan, berkonsultasi dengan masyarakat terutama yang berada dalam kawasan risiko bencana, atau yang berpotensi dibuat rentan atau terdampak risiko bencana yang dipicu oleh operasi industri ekstraktif tersebut. 

Baca Juga: Hampir Rp 300 Triliun, Kredit Perbankan Mengucur ke Sektor Pertambangan

Hasil audit harus dibuka kepada seluas-luasnya publik, tersedia secara cumacuma, mudah dan dapat diakses kapan saja oleh publik luas. Selanjutnya, hasil audit harus ditindaklanjuti dengan orientasi perlindungan lingkungan dan keselamatan rakyat.

Sebagai catatan, dampak perubahan iklim yang memicu bencana alam dan hilirisasi tambang yang abai terhadap lingkungan menjadi ancaman serius bagi Indonesia, lantaran bisa menimbulkan kerugian ekonomi dan ekologi tak sangat besar.

Merujuk studi USAID 2020, Kerugian akibat perubahan iklim di Indonesia diperkirakan mencapai Rp 132 triliun atau US$ 1,4 miliar pada 2050.

Adapun  Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, sebanyak 5.400 kejadian bencana alam terjadi sepanjang 2023. Angka tersebut mengalami kenaikan 52 persen jika dibandingkan pada tahun 2022. 

Baca Juga: Hampir Rp 300 Triliun, Kredit Perbankan Mengucur ke Sektor Pertambangan

Berdasarkan data Center for Strategic and International Studies (CSIS), dampak kerugian bencana alam di Indonesia rata-rata mencapai Rp 1,06 triliun per tahun. 

Total biaya mitigasi perubahan iklim mencapai Rp 4 triliun per tahun. Produk domestik bruto (PDB) Indonesia pun berpotensi merosot 19 persen ketika suhu bumi naik hingga 4 derajat celsius. 

Mirisnya, sebesar 25% dari perekonomian Indonesia saat ini mempunyai intensitas jejak karbon yang tinggi, yakni pertambangan 14,07%, pertanian 9,22%, perikanan 2,58%, dan kehutanan 0,6%. Yang mana lebih dari 50% ekspor utama Indonesia berbasis sumber daya alam.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management Principles (SCMP) Mastering Management and Strategic Leadership (MiniMBA 2024)

[X]
×