Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Satuan Tugas (Satgas) Pangan Jawa Timur (Jatim) menemukan puluhan ribu ton stok gula kristal putih (GKP) dan gula rafinasi di gudang milik salah satu perusahaan di provinsi tersebut. Temuan ini merupakan hasil inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukan Satgas Pengan Jatim menyusul munculnya isu kelangkaan gula di wilayah tersebut.
Menanggapi hal ini, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan munculnya aksi diduga penimbunan tersebut bisa dipicu oleh permasalahan gap harga antara gula dalam negeri dengan gula impor. Menurut dia, harga gula dari impor bisa setengah dari harga dalam negeri (HET Rp 12.500 per kg). Dengan menghitung asumsi biaya transportasi dan pengiriman minimal importir gula bisa mendulang keuntungan sebesar Rp 2.000 per kg.
"Dengan impor gula yang mencapai 3 juta ton, maka keuntungannya bisa mencapai Rp 6 triliun. Makanya perusahaan-perusahaan tersebut enggan membeli tebu dari petani dan memproduksi gula dalam negeri, toh keuntungan dari impor sangat besar," kata dia, Kamis (29/4).
Baca Juga: Ekosistem halal value chain berbasis pesantren terus didorong pemerintah
Hal lain, masalah harga gula yang dipatok lewat HET sebesar Rp 12.500 per kg ternyata bisa mencapai lebih dari Rp 15.000 per kg. Semakin tinggi harga di domestik maka semakin tinggi pula keuntungan importir atau distributor gula ini. "Jadi mereka sengaja menimbun saja untuk menaikkan harga. Semakin cuan juga mereka," kata Huda.
Oleh sebab itu, untuk memberikan efek jera kepada perusahaan yang melakukan aksi penimbunan, maka bisa ditarik ke ranah pidana serta dijatuhkan sanksi berupa pencabutan izin impor dan denda. Terlebih, aksi penimbunan dilakukan saat kebutuhan gula meningkat di Ramadan dan jelang Lebaran.
"Kalau sanksi pidana mungkin disesuaikan dengan hukum yang berlaku. Tapi kalau dari sisi ekonomi pencari rente impor komoditas ini sudah selayaknya dicabut izin perusahaan dan didenda," tandas dia.
Selanjutnya: Multistrada (MASA) mengalami penurunan kinerja sepanjang tahun 2020.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News