Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi
Hal itu terjadi, antara lain karena zonasi pelaku perikanan dan nelayan masih terkonsentrasi di satu titik, khususnya Jawa. Oleh karena itu harus ada kebijakan migrasi bagi pelaku sektor perikanan dari zona jenuh ke wilayah yang lebih luas dan besar potensi tangkapnya.
“Tidak mudah, namun harus dilakukan dengan kebijakan yang taktis dan strategis. Artinya, migrasi dilakukan dengan mengeliminir potensi konflik etnis dan kelompok,” ujar Rachmat.
Baca Juga: Mendorong konsumsi orang kaya masih sulit
Rachmat juga menekankan, salah satu kendala pengembangan sektor perikanan adalah lemahnya keberadaan fungsi penyangga baik di sisi produksi maupun pemasaran. “Saya melihat, dengan bekerjasama dengan berbagai stakeholder, pemerintah mempunyai peluang besar untuk memperkuat fungsi penyangga ini. Jadi pemerintah tidak perlu khawatir untuk memperkuat fungsi ini,” kata Rachmat.
Intinya, dari sisi hulu pemerintah bisa menyediakan sarana produksi, seperti alat tangkap ramah lingkungan, BBM, dan mesin kapal dengan jumlah yang memadai, serta sesuai karakteristik wilayah. Semua itu harus disediakan dengan pendanaan dari lembaga terkait dengan harga jual yang terjangkau.
Di sisi hilir, fungsi penyangga ini harus menjamin pemasaran bagi hasil tangkap nelayan untuk bisa mengembalikan modal dan biaya hidup layak. Fungsi penyangga ini sangat penting agar harga ikan tidak terlalu fluktuatif, yakni di saat paceklik produksi tangkap harga melambung dan saat panen harga hancur.
Baca Juga: Inilah penjelasan Kementerian BUMN soal the new normal BUMN
“Selama ketersediaan sarana produksi tidak terjamin dan harga ikan sangat fluktuatif, maka nelayan tidak akan pernah keluar dari kemiskinan. Potensi kemaritiman di seluruh wilayah Indonesia tidak akan tergarap secara merata,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News