kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Realisasi bauran EBT baru 11,31% di tahun 2020, ini upaya dari Kementerian ESDM


Kamis, 11 Februari 2021 / 08:04 WIB
Realisasi bauran EBT baru 11,31% di tahun 2020, ini upaya dari Kementerian ESDM
ILUSTRASI. Ilustrasi energi baru terbarukan. ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/aww.


Reporter: Dimas Andi | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Porsi bauran energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional tahun 2020 baru mencapai 11,31% atau hanya separuh dari target 23% di tahun 2025. Untuk itu, diperlukan strategi dan dukungan seluruh pihak untuk dapat mewujudkan target tersebut.

Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menguraikan, sekarang adalah momentum yang paling tepat untuk pengembangan EBT mengingat Indonesia harus melakukan transisi energi ke energi baru terbarukan. Terlebih lagi, pengembangan EBT didukung oleh tren global, sedangkan dari sisi teknologi dan keekonomian EBT sudah tampak semakin murah.

“Ini saatnya untuk bertransisi energi ke EBT dan ini yang kami lakukan di Kementerian ESDM, yaitu melakukan secara smooth proses-prosesnya terhadap penyediaan energi, khususnya listrik ke masyarakat terus berjalan. Kemudian, investasinya terus berkembang dan target EBT serta penurusan emisi GRK secara cepat bisa kita kejar targetnya,” ungkap Dadan.

Sebagai catatan, angka capaian bauran EBT di 2020 kurang lebih 11% atau lebih baik dibandingkan capaian di 2015 yang baru mencapai 5%. Artinya, dalam 6 tahun capaian bauran EBT naik dua kali lipat atau kira-kira 1% per tahun. Masih tersisa lima tahun mendatang untuk mengejar target bauran EBT ke level 23%.

Baca Juga: Kementerian ESDM targetkan 1 juta pelanggan listrik terpasang smart meter pada 2022

Dadan mengungkapkan, yang ia pelajari dari sisi peningkatan bauran EBT, pencapaiannya lebih banyak didukung oleh Bahan Bakar Nabati (BBN) di tahun 2016 dan semakin bertambah ketika program mandatori B30 dilaksanakan. Untuk pembangkit EBT sendiri tidak terlalu mendominasi, yakni di tahun 2015 kapasitas pembangkit EBT tercatat sebesar 8.500 MW, sedangkan di tahun 2020 terdapat penambahan kapasitas 2.000 MW dari EBT.

“Malah tahun kemarin hanya nambah 106 MW. Tahun lalu memang bisa dikecualikan karena ada pandemi. Kalau ingin mencapai level 23% di 2025, minimal setiap tahun harus tambah 2.000 MW untuk yang listrik dan nambah juga untuk biofuelnya serta juga co-firing pencampur batubara dengan biomassa yang lain,” papar Dadan.

Terdapat beberapa langkah agar pemanfaatan EBT meningkat. Pertama dengan cara substitusi, yaitu melalui peningkatan bahan bakar nabati di sektor-sekor yang masih belum menggunakan B30, Dengan dorongan Presiden RI, program B30 akan dinaikkan menjadi B40 atau B50.

Substitusi lain juga dilakukan melalui program co-firing biomassa di PLTU batubara. Melalui program ini, pembangkit tidak perlu menambah kapasitas dan tetap menggunakan mesin yang sama, tidak perlu menggunakan teknologi baru, serta bahan bakarnya yang ditambah dengan energi terbarukan seperti limbah dan sampah.

Kedua, konversi energi primer fosil khususnya diesel atau termasuk batubara ke PLT EBT. Yang paling dekat, pemerintah bersama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) memiliki program konversi PLTD ke PLT EBT.

Terdapat 5.200 unit PLTD tersebar di sekitar 2.000 lokasi secara nasional dengan total kapasitas sekitar 2 GW. Tahap pertama tahun 2021 akan dilakukan konversi untuk 225 MW PLTD dan sudah dimulai oleh PLN. Pemerintah pun sudah melakukan persiapan untuk konversi PLTD ke PLT EBT tahap kedua. Program tersebut selain dapat meningkatkan porsi EBT, PLN akan menjadi perusahaan listrik yang semakin hijau dan secara ekonomi akan lebih baik.

Yang ketiga, pembangkit baru berbasis EBT akan ditambah setelah terjadi demmand baru, setelah keekonomiannya kembali normal, fokusnya pada penyediaan listrik yang murah dan bersih seperti PLTS.

Sebagai tambahan, didorong juga pemanfaatan EBT yang sifatnya non listrik dan bukan juga untuk non BBN. Pemanfaatan energi terbarukan di pertanian misalnya, dilakukan untuk pengeringan tembakau. Jadi, energi terbarukan tersebut tidak hanya dimanfaatkan untuk listrik, tapi juga untuk proses usaha yang lebih sederhana.

“Untuk PLTS skala besar secara keekonomiannya paling dekat yaitu PLTS Terapung. Dua hal ini dalam penglihatan kami dalam urusan teknologi yang kaitannya dengan keekonomiannya bisa bersaing head to head dengan BPP di Jawa,” terang Dadan.

Upaya lainnya yaitu dengan mencari hal-hal yang bisa dilakukan di tengah kondisi excess supply, seperti mendorong pemanfaatan co-firing kepada PLTU. Selain dapat menghidupkan kegiatan ekonomi di masyarakat. Sebab, nantinya program akan berurusan dengan tanam-menanam yang akan dilakukan oleh para petani masyarakat langsung, tidak terbatas di kalangan pengusaha atau badan usaha.

“Jadi semua bisa terlibat dan jumlahnya juga besar, tersebar di nasional, secara teknologi sudah terbukti sehingga kami mendorong hal ini. Upaya yang sedang kami lakukan adalah memastikan bahwa suplainya ada. Contohnya sudah dilakukan kerja sama antara PLN dan Perhutani,” ungkap Dadan.

Sugeng Suparwoto, Ketua Komisi VII DPR RI mengatakan, tidak mudah untuk merealisasi target kita di tahun 2025 sebesar 23%. "Saya dengan DPR dan berbagai keterbatasan terus mengupayakan agar EBT benar-benar menjadi prioritas utama. Ini tercermin pada program legislasi, prioritas Undang-Undang (UU) yang akan kita tuntaskan tahun ini adalah UU EBT,” katanya dalam siaran pers di situs Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, Selasa (9/2).

Ketua Komisi VII DPR RI dari Fraksi Nasdem ini mengungkapkan, sudah ada pemahaman bersama bahwa Indonesia tidak bisa lagi berbalik dan harus masuk ke dalam era pemanfaatan EBT secara masif.

Selanjutnya: Susun RUU EBT, Komisi VII gelar focus group discussion dengan IPB

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×