kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   -2.000   -0,13%
  • USD/IDR 15.875   5,00   0,03%
  • IDX 7.314   118,54   1,65%
  • KOMPAS100 1.121   16,95   1,53%
  • LQ45 892   14,50   1,65%
  • ISSI 223   2,40   1,09%
  • IDX30 459   10,01   2,23%
  • IDXHIDIV20 553   13,38   2,48%
  • IDX80 129   1,38   1,09%
  • IDXV30 137   2,73   2,03%
  • IDXQ30 152   3,22   2,16%

Redam faktor China, batubara perlu diversifikasi pasar


Rabu, 10 Oktober 2018 / 20:25 WIB
Redam faktor China, batubara perlu diversifikasi pasar
ILUSTRASI. Bongkar muat batubara


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga Batubara Acuan (HBA) Oktober 2018 tertekan diangka US$ 100,89 per ton, atau turun sekitar 3,74% dibandingkan HBA bulan September sebesar US$ 104,81 per ton. HBA dua bulan terakhir itu pun mengalami penurunan dibandingkan HBA Agustus 2018 yang berada di angka US$ 107,83 per ton.

HBA tersebut telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri (Kepmen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 1974 K/30/MEM/2018 tentang Harga Mineral Logam Acuan dan Harga Batubara Acuan untuk Bulan Oktober Tahun 2018. 

Penurunan HBA tersebut antara lain disebabkan oleh pergerakan variabel yang membentuk HBA, yaitu Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC), dan Platss 5900 pada bulan sebelumnya.

Namun, seperti yang dikatakan oleh oleh Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Ditjen Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Sri Raharjo pada awal bulan ini, faktor penurunan permintaan dari China menjadi dominan yang menekan harga batubara. Selain karena faktor cuaca, adanya kebijakan proteksi impor menjadi sebab menurunnya permintaan batubara dari China.

“Masing-masing negara ada policy, juga faktor musim. China ada pembatasan impor, ada beberapa pelabuhan di selatan yang ditutup. Otomatis jadi turun (permintaan), karena kita kan banyak ekspor ke situ,” kata Sri.

Hal itu juga diamini oleh Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia. Bahkan, ia menyebut bahwa tren penurunan harga telah terjadi sejak bulan Agustus hingga saat ini. Khususnya untuk batubara kalori menengah dan rendah (GAR 5.000 ke bawah).

“Terutama memang disebabkan China yang sudah mengurangi demand untuk batubara kalori rendah, sementara pemasok terbesarnya Indonesia,” kata Hendra.

Merujuk data dari Subdirektorat Pengawasan Usaha Operasi Produksi dan Pemasaran Batubara Ditjen Minerba Kementerian ESDM, diketahui bahwa China mendominasi pasar ekspor batubara. Per 31 Agustus 2018, ekspor batubara ke China mencapai 44,5 juta ton atau sekitar 31% dari total ekspor realisasi ekspor batubara Indonesia pada periode tersebut.

Sementara di posisi kedua ada India dengan 29,23 juta ton, dan disusul Jepang dengan 16,73 juta ton. Adapun, data per Agustus, total produksi batubara mencapai 311,88 juta ton, sedangkan realisasi ekspor sebesar 200,62 juta ton dan penjualan domestik sebesar 102,75 juta ton.

Berdasarkan data dari asosiasi yang dikemukakan Hendra, jumlah ekspor batubara Indonesia ke China pada Semester I-2018 setara dengan 49% dari total impor batubara China pada periode yang sama. “Jumlah itu meningkat, dari 33,48% pada semester I-2017,” kata Hendra.

Diversifaksi Pasar

Menurut ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Muhammad Faisal, penurunan permintaan dari China dan peningkatan tarif impor menjadi penyebab penurunan harga secara marginal. Karenanya, diperrlukan diversifikasi pasar selain China, guna meredam faktor eksternal dari negeri tirai bambu ini.

“Di Indonesia sendiri produksi saat ini juga cenderung oversupply. Diversifikasi tetap diperlukan walaupun pasar china jauh lebih besar dibanding pasar non tradisional manapun,” katanya saat dikonfirmasi Kontan.co.id, Rabu (10/10).

Senada dengan itu,menurut Hendra, dalam jangka panjang diversifikasi tujuan ekspor sangat diperlukan. Apalagi, lanjut Hendra, secara bertahap China akan mengurangi impor batubara khususnya kalori sedang dan rendah yang kebanyakan dipasok dari Indonesia, kendati diversifikasi pasar tersebut bukan lah perkara mudah.

“Namun dalam waktu dekat tidak mudah untuk eksplore pasar-pasar baru seperti di daerah Asia Selatan, misalnya Bangladesh, Pakistan yang potensi konsumsi batubara kedepan akan meningkat,” katanya. Diversifikasi pasar juga disasar oleh sejumlah pemain utama di pasar batubara Indonesia. Salah satunya oleh perusahaan batubara plat merah, PT Bukit Asam (PTBA).

Menurut Sekretaris perusahaan PTBA Suherman, saat ini China masih menjadi negara tujuan ekspor utama dengan realisasi penjualan sebesar 18,3% dari total penjualan batubara PTBA selama Semester I-2018. 

Ke depan, kata Suherman, perusahaan akan meningkatkan porsi penjualan ke negara-negara ASEAN, seiring dengan kebutuhan batubara untuk kawasan ini yang diproyeksikan akan terus meningkat untuk memenuhi kebutuhan pembangkit listrik.

“Ke depan, porsi penjualan ke kawasan ASEAN akan terus meningkat. Seiring juga rencana PTBA untuk menjual batubara kalori tinggi, market barunya ini antara lain Jepang dan Taiwan,” ujar Suherman.

Adapun, PT BA menjadi bagian dari 15 perusahaan dengan produksi dan ekspor batubara terbesar per 31 Agustus 2018. PT BA ada di posisi keenam dengan realiasi produksi sebesar 15,93 juta ton, dan realisasi ekspor 7,61 juta ton.

Sementara itu, PT Adaro Indonesia dan PT Arutmin Indonesia tidak begitu tergantung dengan China sebagai pasar ekspornya. Head of Corporate Communication PT Adaro Energy Tbk, Febriati Nadira berkata, dilihat dari data capaian Semester I-2018, ekspor batubara Adaro cukup berimbang ke sejumlah negara.

China, kata Nadira, tidak mendomisasi karena jumlah ekspor Adaro ke sana hanya sebesar 12%. Sama dengan jumlah ekspor ke India dan Malaysia sebesar 12%. Adapun, Indonesia atau pasar domestik, masih mendominasi dengan 22%. “Terbesar masih Indonesia, Malaysia, India dan China sama, Kita nggak ada yang dominan untuk pasar ekspor,” kata Nadira.

Alhasil, Adaro tidak begitu terpengaruh oleh pembatasan impor atau penurunan permintaan dari China. “Ya (tidak terpengaruh), karena terlihat bahwa sudah cukup terdiversifikasi,” tambah Nadira.

Hal senada juga diungkapkan oleh Chief Executive Officer (CEO) Arutmin Indonesia, Ido Hutabarat, yang mengaku bahwa Arutmin tidak menjadikan China sebagai pasar ekspor yang dominan. “Arutmin hanya ekspor sedikit ke China,” ujar Ido.

Sebagai informasi, Adaro dan Arutmin juga termasuk pada 15 perusahaan dengan produksi dan ekspor batubara terbesar selama delapan bulan awal di tahun 2018. Adaro menempati posisi kedua dengan realisasi produksi sebesar 28,99 juta ton dan realisasi ekspor 25,70 juta ton. Sedangkan Arutmin ada di posisi lima dengan 16,83 juta ton realisasi produksi, dan 4,33 juta ton realisasi ekspor per 31 Agustus 2018.

Dalam hal ini, menurut Hendra, bisa jadi bahwa ekspor ke China dengan jumlah yang dominan, tidak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar. Namun, kemungkinan dilakukan oleh perusahaan-perusahaan kecil yang susah untuk didata, yang membuat upaya untuk tidak bergantung kepada China menjadi tak mudah.

“Ya seperti itu, jadi untuk diversifikasi juga tidak mudah dalam waktu dekat. Ekspor ke China sumbernya cukup banyak, jadi tidak hanya didominasi perusahaan-perusahaanbesar. Sehingga pasar dalam kondisi oversupply itu membuat kondisi jadi buyers market,” tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×