Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Regulasi gambut yang masih mengacu pada peta berskala 1:250.000 tidak bisa menjadi dasar justifikasi pemetaan lahan gambut yang sesungguhnya. Pemerintah membutuhkan peta dengan skala besar minimal 1: 50.000 dan data yang lengkap terkait luasan wilayah sebagai acuan membuat regulasi gambut.
Hal itu diungkapkan oleh Darmawan Msc dari Departemen ilmu tanah dan sumberdaya lahan, Insititut Pertanian Bogor (IPB). Dia bilang, jika regulasi gambut ‘dipaksa’ hanya dengan mengacu pada peta yang tidak kompatibel, kedepan timbul banyak masalah karena regulasi gambut pemerintah tidak dibuat atas dasar data-data dan fakta-fakta.
“Pemahaman yang tidak tepat dan data yang tidak akurat sebaiknya tidak menjadi dasar dalam membuat regulasi. Apalagi jika regulasi yang bisa berdampak besar terhadap hayat hidup orang banyak,” kata Darmawan dalam seminar nasional gambut bertema “Harmonisasi pemanfaatan dan konservasi gambut di Indonesia melalui pengelolaan lahan secara bertanggung jawab" di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Rabu (6/9).
Menurut Darmawan, pemerintah membutuhkan peta dengan skala besar minimal 1: 50.000 dan data yang lengkap terkait luasan wilayah sebagai acuan pelaksanaan restorasi. Peta gambut berskala 1:250.000 masih terlalu kasar dan tidak bisa dijadikan sebagi dasar untuk menjustifikasi pemetaan lahan yang sesungguh.
Pemetaan detail dan analisa terkait hidrotopografi serta tutupan lahan gambut yang akan menjadi dasar pekerjaan fisik restorasi gambut, dibutuhkan agar rencana restorasi gambut akurat. Pemetaan yang tidak akurat, menurut dia, sama seperti melihat seseorang dari jauh.
"Tidak terlihat antara kepala dan badan terdapat leher. Hal ini menimbulkan banyak diasosiasi seperti pendapat mungkin kepala lebih rendah dari leher dan lainnya. Pada peta yang baik dan akurat seharusnya semua detail, terlihat dengan jelas,” imbuh Darmawan.
Perbaikan lahan gambut
Darmawan menambahkan, peta yang tidak detail itu juga menyebabkan data mengenai luasan gambut berbeda-beda. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyatakan luasan gambut 20 juta hektar lebih. Sementara itu badan informasi geospasial (BIG) menyebut data ‘yang disepakati’ Kementerian Pertanian, dan KLHK hanya sekitar 14 juta.
Pernyataan senada dikemukakan Supiandi Sabiham, Ketua Himpunan Gambut Indonesia (HGI). Dia menyakini, saat ini banyak penelitian-penelitian baru dari perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian yang dapat digunakan untuk melakukan upaya-upaya perbaikan pada lahan gambut.
Menurut Supiandi, untuk mempertajam argumentasi ilmiahnya, sebaiknya hasil-hasil penelitian tersebut perlu didiskusikan dalam suatu forum ilmiah. Hal ini untuk lebih memperkaya bidang ilmu dan akurasi kebenarannya.
"HGI selalu berbuka dengan untuk berdiskusi terkait pemanfaatan lahan gambut di Indonesia dengan semua pihak,” tegasnya.
Dia menambahkan, peta gambut dengan akurasi sangat diperlukan karena kebutuhan akan lahan untuk berbagai penggunaan termasuk pertanian di Indonesia sangat tinggi.
Di sisi lain ketersediaan lahan produktif untuk pengembangan pertanian semakin terbatas, yang menyebabkan pemanfaatan sub optimal seperti lahan gambut menjadi alternatif untuk pengembangan pertanian.
Lahan gambut bagi masyarakat Indonesia memiliki nilai yang sangat penting karena menyediakan hasil hutan berupa kayu dan non kayu, menyimpan dan mensuplai air, dan merupakan habitat bagi keanekaragaman hayati dengan berbagai jenis flora dan fauna langka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News