Reporter: Muhammad Julian | Editor: Anna Suci Perwitasari
Ketergantungan atas bahan baku limbah non-B3 impor juga dijumpai pada anak perusahaan PT Alkindo Naratama Tbk, PT Eco Paper Indonesia (EPI). Perusahaan yang memproduksi kertas cokelat ini memasok sebagian kebutuhan bahan bakunya dengan mengimpor limbah non-B3 berupa kertas bekas dari Singapura, Australia, Selandia Baru, Timur Tengah, Eropa sama Amerika Serikat.
“Untuk Eco Paper Indonesia, porsi bahan baku impornya bisa 40%-60%, tergantung pengadaan dan harga di lokal,” kata Direktur Alkindo Naratama Erik Sutanto.
Adapun harga kertas bekas yang diimpor berkisar di antara US$ 80 - US$ 150 per tonnya.
Baca Juga: Berkah Prima (BLUE) akan memperbesar bisnis cetak tekstil tahun ini
Tak hanya pelaku industri kertas, kerancuan dalam regulasi impor limbah nonB3 juga berpotensi memiliki dampak terhadap pelaku industri penerbitan dan percetakan. Manajer Pengadaan PT Temprint, Putut Suharto Putro mengatakan, pasokan impor bahan baku kertas bekas ke dalam negeri yang terhambat berpotensi menyebabkan naiknya harga kertas koran di pasaran.
Hal ini pada gilirannya akan berpengaruh kepada kinerja pelaku usaha penerbitan dan percetakan seperti misalnya perusahaan koran cetak. Masalahnya, perusahaan koran tidak bisa serta merta menaikkan harga jualnya akibat adanya kondisi persaingan pasar yang ketat, terlebih dengan adanya kehadiran perusahaan koran online.
“Langkah satu-satunya ya mengurangi margin penerbit koran,” kata Putut.