kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Regulasi impor limbah non-B3 rancu, industri kertas tertekan


Kamis, 09 Januari 2020 / 07:00 WIB
Regulasi impor limbah non-B3 rancu, industri kertas tertekan


Reporter: Muhammad Julian | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Regulasi impor limbah non Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) masih menimbulkan polemik. Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) menilai ketentuan dalam Permendag Nomor 92 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Nomor 84 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Limbah Non-Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) sebagai Bahan Baku Industri masih bermasalah dan berpotensi menghambat kegiatan impor bahan baku limbah non-B3. 

Pasalnya, sejumlah istilah seperti misalnya istilah homogen dan bersih yang ada dalam ketentuan tersebut masih memiliki pengertian rancu yang membuat definisi limbah non-B3 kurang jelas.

“Di lapangan masih multi tafsir, perlu dipertegas dalam juknis dan code of conduct sehingga ada kepastian buat surveyor dan importir,” kata Ketua Umum APKI Aryan Warga Dalam kepada Kontan.co.id, Rabu (8/1).

Baca Juga: Soal kriteria limbah non-B3, APKI sarankan pemerintah ikuti standar ISRI

Ketidakjelasan yang demikian dikhawatirkan dapat berdampak buruk pada industri kertas dalam negeri lantaran berpotensi menghambat arus pasokan bahan baku limbah non-B3.

“Apalagi beberapa pabrik kertas sudah melakukan investasi penambahan kapasitas, utilisasi bisa menurun, kegiatan produksi bisa menjadi kurang efisien,” tambah dia. Maklum saja, sebagian pelaku industri kertas memang masih bergantung pada pasokan bahan baku kertas impor.

PT Pabrik Kertas Tjiwi Tjiwi Kimia Tbk misalnya, emiten kertas yang memiliki kode saham TKIM ini masih mengandalkan bahan baku limbah non-B3 impor berupa kertas bekas (wastepaper) dalam memenuhi 50% dari kebutuhan bahan baku produksinya.

Alasannya, produksi kertas bekas nasional yang ada dinilai masih belum cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan kertas bekas perusahaan. Mengingat masih rendahnya tingkat konsumsi kertas di Indonesia serta belum memadainya upaya pengumpulan sampah kertas bekas daur ulang di Indonesia.

Baca Juga: Sepanjang 2019, industri manufaktur menyumbang nilai ekspor terbesar

Kondisi yang demikian diperparah dengan tidak adanya sistem pemilahan sampah yang baik sehingga produksi kertas bekas daur ulang menjadi semakin sulit dilakukan. Hal ini agak berbeda apabila dibandingkan dengan negara-negara lain yang sudah memiliki ekosistem pelaku daur ulang kertas bekas berskala industri.

“Kalau di luar negeri, pemainnya sudah sebagai industri besar, pemilahan sampah kertas bekasnya juga sudah pakai sistem, dan konsumsi kertasnya juga tinggi,” kata  Direktur UtamaTKIM Suhendra Wiriadinata kepada Kontan.co.id, Selasa (7/1).

Ketergantungan atas bahan baku limbah non-B3 impor juga dijumpai pada anak perusahaan PT Alkindo Naratama Tbk, PT Eco Paper Indonesia (EPI). Perusahaan yang memproduksi kertas cokelat ini memasok sebagian kebutuhan bahan bakunya dengan mengimpor limbah non-B3 berupa kertas bekas dari Singapura, Australia, Selandia Baru, Timur Tengah, Eropa sama Amerika Serikat.

“Untuk Eco Paper Indonesia, porsi bahan baku impornya bisa 40%-60%, tergantung pengadaan dan harga di lokal,” kata Direktur Alkindo Naratama Erik Sutanto.

Adapun harga kertas bekas yang diimpor berkisar di antara US$ 80 - US$ 150 per tonnya.

Baca Juga: Berkah Prima (BLUE) akan memperbesar bisnis cetak tekstil tahun ini

Tak hanya pelaku industri kertas, kerancuan dalam regulasi impor limbah nonB3 juga berpotensi memiliki dampak terhadap pelaku industri penerbitan dan percetakan. Manajer Pengadaan PT Temprint, Putut Suharto Putro mengatakan, pasokan impor bahan baku kertas bekas ke dalam negeri yang terhambat berpotensi menyebabkan naiknya harga kertas koran di pasaran.

Hal ini pada gilirannya akan berpengaruh kepada kinerja pelaku usaha penerbitan dan percetakan seperti misalnya perusahaan koran cetak. Masalahnya, perusahaan koran tidak bisa serta merta menaikkan harga jualnya akibat adanya kondisi persaingan pasar yang ketat, terlebih dengan adanya kehadiran perusahaan koran online

“Langkah satu-satunya ya mengurangi margin penerbit koran,” kata Putut.

Putut memperkirakan efek berupa dampak kenaikan yang demikian baru akan terasa pada bulan Maret 2020, sebab produsen kertas koran dalam negeri diduga masih memiliki stok bahan baku kertas bekas hingga Maret mendatang. 

Pada bulan Maret mendatang, dia memperkirakan harga kertas koran berpotensi naik menjadi kurang lebih Rp 10.000 per kilogram, sedikit lebih tinggi dibandingkan harga kertas koran saat ini yang berkisar Rp 9.000 per kg.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×