kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Regulasi PLTS Atap dikebut, antara mendukung importir dan ingin tarif listrik naik


Minggu, 15 Agustus 2021 / 18:07 WIB
Regulasi PLTS Atap dikebut, antara mendukung importir dan ingin tarif listrik naik
ILUSTRASI. Kompleks perumahan pengguna Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap di Tangerang, Banten, Senin (7/9).


Reporter: Azis Husaini, Filemon Agung | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah merevisi Permen ESDM No.49/2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT PLN (Persero).

Namun demikian peraturan ini dinilai bisa membahayakan sistem kelistrikan dan keuangan PLN secara jangka panjang. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengungkapkan saat ini proses revisi tengah dalam tahapan akhir yakni proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM. 

"Sudah tiga kali pembahasan, Insya Allah segera selesai, targetnya bulan ini bisa rampung," kata Dadan kepada KONTAN, Minggu (15/8).

Kehadiran regulasi ini diharapkan mendongkrak implementasi PLTS Atap. Dadan mengatakan, PLTS Atap merupakan salah satu program pemerintah untuk mencapai target bauran EBT 23% pada 2025 melalui pemanfaatan PLTS oleh masyarakat konsumen listrik baik PLN maupun wilayah usaha lainnya.

Kementerian ESDM pun menargetkan PLTS Atap dapat bertambah kapasitasnya hingga 3 Giga Watt (GW) dalam empat tahun kedepan. Hingga saat ini pengguna PLTS Atap baru sekitar 35 MW dari 4.000 pelanggan.

Ia memastikan, penyusunan regulasi turut membahas dampak plus minus yang mungkin timbul bagi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). 

"Semua sudah dibahas dalam rapat-rapat penyusunan dan juga dalam rakor Menko Maritim dan Investasi, termasuk sudah disetujui sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN)," terang Dadan.  

Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan, pelaksanaan program Gerilya merupakan salah satu bagian dari proses menuju transisi energi bersih dimana potensi PLTS punya peluang besar untuk diimpelementasikan. "Dari berbagai jenis EBT, PLTS akan lebih didorong dan mendominasi, mengingat potensinya paling besar dan harganya semakin murah," ungkapnya.

Dari sisi biaya investasi, pemerintah menilai PLTS mengalami penurunan cukup signifikan dan memiliki daya saing investasi yang cukup kompetitif. 

"Di Indonesia, dapat dilihat pada PLTS terapung Cirata 145 Mega Watt (MW) yang merupakan PLTS terapung terbesar di Asia Tenggara, dengan harga jual listrik sekitar 5,8 sen dolar per kWh," jelas Arifin.

Saat ini, kapasitas terpasang solar rooftop, sambung Arifin, tercatat hanya 31 MW dari total potensi sekitar 32 Giga Watt (GW) baik di Rumah Tangga, Bisnis, Industri, Sosial maupun di Gedung Pemerintah dan BUMN. 

"Kami sedang menyempurnakan regulasi solar rooftop agar lebih menarik. Makanya, kami optimis pemanfaatan solar rooftop dapat dipercepat. Untuk itu, dibutuhkan peran aktif semua pihak, tak terkecuali mahasiswa dan generasi muda," tegasnya.

Sementara itu, Pakar Energi Listrik Institut Teknologi Bandung (ITB) Nanang Hariyanto mengatakan dirinya sudah dua kali diminta pendapat soal isi dari revisi Permen ESDM itu yang memang mendapat perhatian serius dari berbagai pihak.

Dalam aturan itu tertera bahwa akan ada rencana perubahan ekspor impor energi listrik dari semula 65% menjadi 100% berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi sebagian besar pelanggan listrik PT PLN (Persero). 

Menurut Nanang, pelanggan PLN harus membayar listrik lebih mahal sebagai dampak kenaikan Biaya Pokok Produksi (BPP) akibat pertambahan jumlah PLTS Atap yang masif dan harga beli listriknya yang tinggi.

Katanya, harga jual listrik dari PLTS Atap lebih mahal dibandingkan pembangkit PLTS non-Atap. Dia mencontohkan PLTS non-Atap seperti PLTS Cirata harga jual listriknya adalah US$ 4 sen per KWh atau setara Rp 600 per KWh. Sedangkan PLTS Atap dijual ke PLN seharga Rp 1.440 per KWh. 

“Akibatnya, tentu saja Biaya Pokok Produksi (BPP) PLN akan naik,” kata dia yang juga Ketua Laboratorium Sistem Tenaga Listrik ITB.

Nanang menaksir, jika pengembangan PLTS Atap terlalu massif, maka PLN akan menanggung rugi siginifikan. "Saya sudah melakukan simulasi perhitungan dari 2021-2030. Dengan skenario net meter dengan menggunakan tarif 1:1 (dibayar 100% TDL) pada PV Rooftop, maka PLN akan mengalami penurunan demand sekaligus kenaikan BPP dengan rata-rata Rp 11,83 per kWh serta akan menurunnya pendapatan PLN sebesar Rp 42,49 triliun selama 9 tahun," ungkap dia. 

Selain itu, lanjut Nanang, sistem kelistrikan Jawa Bali ditopang banyak Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang harus terus menerus beroperasi. Namun karena ada PLTS Atap, beban akan dipenuhi terlebih dahulu dari pasokan PLTS Atap. Akibatnya, operasi PLTU di tekan ke bawah. 

PLTU yang biasanya beroperasi 70-80%, karena ada PLTS Atap, beban turun sehingga menekan operasi PLTU hingga 50-60%. “Karena turun,  keberadaan PLTS Atap menekan operasi PLTU operasinya hingga 50-60. Dampaknya, efisiensi PLTU menjadi rendah,” ungkap Nanang. 

Akibat dua faktor itu, BPP pembangkit Jawa Bali menjadi naik. Semua pelanggan PLN akan menanggungnya. Padahal penyedia rooftop hanya beberapa persen. Kalau naik, harus disubsidi oleh negara. Jadi beban APBN.  “Akibat PV Rooftop yang hanya beberapa persen itu menyebabkan 70 juta pelanggan PLN merasakan dampak kenaikan BPP. Kecuali negara mau menanggung, silakan,” ujarnya.

Nanang mengakui saat ini adalah penggunaan energi terbarukan (renewable energy) sebuah keniscayaan yang akan ada dan berjalan ke depan. Di Vietnam misalnya, pertumbuhan PLTS Atap mencapai 2.000 MegaWatt (MW) atau 2 GW dalam dua tahun. Penyedia PLTS Atap di Vietnam inilah yang kemudian mulai bergesar ke Indonesia sehingga muncul tekanan untuk mendorong perkembangan PLTS Atap.

“Inilah yang kemudian muncul tekanan hingga mengubah aturan yang baru dari sebelumnya 65% harga jual listrik Rooftop PV ke PLN dari sisa energi yang telah dipakai menjadi 100%,” kata Nanang.

Iwa Garniwa Guru Besar Teknik Elektro UI menerangkan kerugian bukan saja pada penurunan pelanggan, tetapi juga pada investasi sistem kelistrikan dari gardu sampai transmisi. "Kalau ada penurunan beban tiba-tiba karena ada awan yang lewat, akan ada kerusakan pada sistem dan bisa blackout," ungkap Iwa ke KONTAN.  

PLTS Atap Mengandalkan Impor

Ekosistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) belum terbentuk. Bahkan komponen untuk solar panel masih didatangkan dari impor. Namun demikian, Kementerian ESDM malah menggenjot proyek tenaga surya tersebut. Bahkan Menteri ESDM Arifin Tasrif dan Menteri Kemendikbud dan Ristek Nadiem Makarim malah mengajak mahasiswa untuk menjadi relawan untuk memasang PLTS Atap.

Keinginan mendorong PLTS terlihat dari draf Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, yang menunjukkan kapasitas PLTS hingga tahun 2030 mencapai 5.969 Megawatt (MW). Dari angka itu, sebanyak 1.408 MW sudah tuntas disepakati dan 4.561 MW masih dibahas. Di RUPTL 2019-2028, kapasitas PLTS hanya 908 MW.

Dari target penambahan pembangkit secara umum sebesar 40.967 MW (40,97 GW) pada RUPTL 2021-2030, maka PLTS bakal berkontribusi 14,57%. Namun, upaya pemanfaatan PLTS ini menghadapi kendala pasokan komponen dalam negeri yang dinilai masih mengandalkan impor. Pemasok lokal sulit memenuhi ketentuan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). 

Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa bilang, upaya pemenuhan TKDN hingga 60% sesuai Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 4 Tahun 2017 tentang Perhitungan Kandungan Lokal dalam Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sukar untuk dicapai.

Dia menjelaskan, industri modul surya dalam negeri masih terbatas pada perakitan. Sejumlah komponen juga masih impor. Dengan kondisi tersebut, Fabby menilai perlu ada relaksasi penerapan TKDN untuk modul surya dan baterai. 

"Untuk modul surya, saya kira relaksasi minimal tiga tahun. Menunggu adanya industri sel surya terbangun dan beroperasi, dan permintaan modul surya dalam negeri meningkat," kata dia.

Jika pemenuhan TKDN dipaksakan, menurut Fabby, justru bisa berimbas pada tidak tercapainya pelaksanaan proyek PLTS skala besar. Disisi lain, harga modul surya buatan dalam negeri 40% lebih tinggi ketimbang impor. Hal ini turut berdampak pada keekonomian proyek.

Kendati meminta relaksasi, Fabby memastikan pada saat bersamaan pemerintah perlu mendorong penciptaan permintaan PLTS. Dengan demikian, upaya mendorong industri modul surya dalam negeri bisa dicapai. "Modul surya dalam negeri punya kapasitas 500 MW, tapi utilisasnya hanya 10% karena permintaan rendah," terang Fabby.

Bukan hanya itu, produk modul surya dalam negeri juga disebut masih dianggap belum bankable. Hal ini lantaran belum banyak teruji untuk proyek skala besar.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana memastikan sejumlah upaya mendorong ekosistem PLTS terus dilakukan. Salah satu upayanya adalah menciptakan pasar lewat rencana pengembangan kapasitas PLTS yang akan dibangun melalui kebijakan dan perencanaan. 

"Bersama dengan Kemenperin melakukan fasilitasi TKDN antara kebutuhan pengembang dan kesiapan industri PLTS untuk memenuhi kebutuhan," kata dia kepada KONTAN, kemarin.

Peningkatan kualitas modul surya dalam negeri juga berpegang pada Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2021  tentang Penerapan Standar Kualitas Modul Fotovoltaik Silikon Kristalin.

Dadan melanjutkan, Direktorat Jenderal EBTKE pun turut melakukan pendampingan kepada produsen PLTS dalam negeri untuk memenuhi ketentuan dalam beleid itu.

Adapun potensi energi surya Indonesia sebesar 207,8 Gigawatt (GW) dan baru termanfaatkan sebesar 154 MW. Menjadi mimpi pemerintah Indonesia membangun pasar yang menarik bagi investor terutama di sektor hulu.

Saat ini masih terdapat isu tingkat komponen dalam negeri dalam industri PLTS atau panel surya. Oleh karena itu, pemerintah juga akan berusaha memperbaiki regulasi terkait hal ini. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×