kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Regulasi PLTS Atap dikebut, antara mendukung importir dan ingin tarif listrik naik


Minggu, 15 Agustus 2021 / 18:07 WIB
Regulasi PLTS Atap dikebut, antara mendukung importir dan ingin tarif listrik naik
ILUSTRASI. Kompleks perumahan pengguna Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap di Tangerang, Banten, Senin (7/9).


Reporter: Azis Husaini, Filemon Agung | Editor: Azis Husaini

PLTS Atap Mengandalkan Impor

Ekosistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) belum terbentuk. Bahkan komponen untuk solar panel masih didatangkan dari impor. Namun demikian, Kementerian ESDM malah menggenjot proyek tenaga surya tersebut. Bahkan Menteri ESDM Arifin Tasrif dan Menteri Kemendikbud dan Ristek Nadiem Makarim malah mengajak mahasiswa untuk menjadi relawan untuk memasang PLTS Atap.

Keinginan mendorong PLTS terlihat dari draf Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, yang menunjukkan kapasitas PLTS hingga tahun 2030 mencapai 5.969 Megawatt (MW). Dari angka itu, sebanyak 1.408 MW sudah tuntas disepakati dan 4.561 MW masih dibahas. Di RUPTL 2019-2028, kapasitas PLTS hanya 908 MW.

Dari target penambahan pembangkit secara umum sebesar 40.967 MW (40,97 GW) pada RUPTL 2021-2030, maka PLTS bakal berkontribusi 14,57%. Namun, upaya pemanfaatan PLTS ini menghadapi kendala pasokan komponen dalam negeri yang dinilai masih mengandalkan impor. Pemasok lokal sulit memenuhi ketentuan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). 

Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa bilang, upaya pemenuhan TKDN hingga 60% sesuai Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 4 Tahun 2017 tentang Perhitungan Kandungan Lokal dalam Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sukar untuk dicapai.

Dia menjelaskan, industri modul surya dalam negeri masih terbatas pada perakitan. Sejumlah komponen juga masih impor. Dengan kondisi tersebut, Fabby menilai perlu ada relaksasi penerapan TKDN untuk modul surya dan baterai. 

"Untuk modul surya, saya kira relaksasi minimal tiga tahun. Menunggu adanya industri sel surya terbangun dan beroperasi, dan permintaan modul surya dalam negeri meningkat," kata dia.

Jika pemenuhan TKDN dipaksakan, menurut Fabby, justru bisa berimbas pada tidak tercapainya pelaksanaan proyek PLTS skala besar. Disisi lain, harga modul surya buatan dalam negeri 40% lebih tinggi ketimbang impor. Hal ini turut berdampak pada keekonomian proyek.

Kendati meminta relaksasi, Fabby memastikan pada saat bersamaan pemerintah perlu mendorong penciptaan permintaan PLTS. Dengan demikian, upaya mendorong industri modul surya dalam negeri bisa dicapai. "Modul surya dalam negeri punya kapasitas 500 MW, tapi utilisasnya hanya 10% karena permintaan rendah," terang Fabby.

Bukan hanya itu, produk modul surya dalam negeri juga disebut masih dianggap belum bankable. Hal ini lantaran belum banyak teruji untuk proyek skala besar.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana memastikan sejumlah upaya mendorong ekosistem PLTS terus dilakukan. Salah satu upayanya adalah menciptakan pasar lewat rencana pengembangan kapasitas PLTS yang akan dibangun melalui kebijakan dan perencanaan. 

"Bersama dengan Kemenperin melakukan fasilitasi TKDN antara kebutuhan pengembang dan kesiapan industri PLTS untuk memenuhi kebutuhan," kata dia kepada KONTAN, kemarin.

Peningkatan kualitas modul surya dalam negeri juga berpegang pada Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2021  tentang Penerapan Standar Kualitas Modul Fotovoltaik Silikon Kristalin.

Dadan melanjutkan, Direktorat Jenderal EBTKE pun turut melakukan pendampingan kepada produsen PLTS dalam negeri untuk memenuhi ketentuan dalam beleid itu.

Adapun potensi energi surya Indonesia sebesar 207,8 Gigawatt (GW) dan baru termanfaatkan sebesar 154 MW. Menjadi mimpi pemerintah Indonesia membangun pasar yang menarik bagi investor terutama di sektor hulu.

Saat ini masih terdapat isu tingkat komponen dalam negeri dalam industri PLTS atau panel surya. Oleh karena itu, pemerintah juga akan berusaha memperbaiki regulasi terkait hal ini. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×