Reporter: Azis Husaini, Filemon Agung | Editor: Azis Husaini
Sementara itu, Pakar Energi Listrik Institut Teknologi Bandung (ITB) Nanang Hariyanto mengatakan dirinya sudah dua kali diminta pendapat soal isi dari revisi Permen ESDM itu yang memang mendapat perhatian serius dari berbagai pihak.
Dalam aturan itu tertera bahwa akan ada rencana perubahan ekspor impor energi listrik dari semula 65% menjadi 100% berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi sebagian besar pelanggan listrik PT PLN (Persero).
Menurut Nanang, pelanggan PLN harus membayar listrik lebih mahal sebagai dampak kenaikan Biaya Pokok Produksi (BPP) akibat pertambahan jumlah PLTS Atap yang masif dan harga beli listriknya yang tinggi.
Katanya, harga jual listrik dari PLTS Atap lebih mahal dibandingkan pembangkit PLTS non-Atap. Dia mencontohkan PLTS non-Atap seperti PLTS Cirata harga jual listriknya adalah US$ 4 sen per KWh atau setara Rp 600 per KWh. Sedangkan PLTS Atap dijual ke PLN seharga Rp 1.440 per KWh.
“Akibatnya, tentu saja Biaya Pokok Produksi (BPP) PLN akan naik,” kata dia yang juga Ketua Laboratorium Sistem Tenaga Listrik ITB.
Nanang menaksir, jika pengembangan PLTS Atap terlalu massif, maka PLN akan menanggung rugi siginifikan. "Saya sudah melakukan simulasi perhitungan dari 2021-2030. Dengan skenario net meter dengan menggunakan tarif 1:1 (dibayar 100% TDL) pada PV Rooftop, maka PLN akan mengalami penurunan demand sekaligus kenaikan BPP dengan rata-rata Rp 11,83 per kWh serta akan menurunnya pendapatan PLN sebesar Rp 42,49 triliun selama 9 tahun," ungkap dia.
Selain itu, lanjut Nanang, sistem kelistrikan Jawa Bali ditopang banyak Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang harus terus menerus beroperasi. Namun karena ada PLTS Atap, beban akan dipenuhi terlebih dahulu dari pasokan PLTS Atap. Akibatnya, operasi PLTU di tekan ke bawah.
PLTU yang biasanya beroperasi 70-80%, karena ada PLTS Atap, beban turun sehingga menekan operasi PLTU hingga 50-60%. “Karena turun, keberadaan PLTS Atap menekan operasi PLTU operasinya hingga 50-60. Dampaknya, efisiensi PLTU menjadi rendah,” ungkap Nanang.
Akibat dua faktor itu, BPP pembangkit Jawa Bali menjadi naik. Semua pelanggan PLN akan menanggungnya. Padahal penyedia rooftop hanya beberapa persen. Kalau naik, harus disubsidi oleh negara. Jadi beban APBN. “Akibat PV Rooftop yang hanya beberapa persen itu menyebabkan 70 juta pelanggan PLN merasakan dampak kenaikan BPP. Kecuali negara mau menanggung, silakan,” ujarnya.
Nanang mengakui saat ini adalah penggunaan energi terbarukan (renewable energy) sebuah keniscayaan yang akan ada dan berjalan ke depan. Di Vietnam misalnya, pertumbuhan PLTS Atap mencapai 2.000 MegaWatt (MW) atau 2 GW dalam dua tahun. Penyedia PLTS Atap di Vietnam inilah yang kemudian mulai bergesar ke Indonesia sehingga muncul tekanan untuk mendorong perkembangan PLTS Atap.
“Inilah yang kemudian muncul tekanan hingga mengubah aturan yang baru dari sebelumnya 65% harga jual listrik Rooftop PV ke PLN dari sisa energi yang telah dipakai menjadi 100%,” kata Nanang.
Iwa Garniwa Guru Besar Teknik Elektro UI menerangkan kerugian bukan saja pada penurunan pelanggan, tetapi juga pada investasi sistem kelistrikan dari gardu sampai transmisi. "Kalau ada penurunan beban tiba-tiba karena ada awan yang lewat, akan ada kerusakan pada sistem dan bisa blackout," ungkap Iwa ke KONTAN.