Reporter: Pratama Guitarra | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Pembukaan keran ekspor bijih nikel kadar rendah mendapat tentangan dari sejumlah investor nikel tang telah berhasil membangun smelter di dalam negeri. Sebab, ini membuat ketidakpastian iklim investasi smelter nikel di dalam negeri.
Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I), Jonatan Handojo, menyatakan bijih nikel kadar rendah sebenarnya dapat terserap di fasilitas pemurnian (smelter) di dalam negeri. Menurutnya, alasan pemerintah membuka keran ekspor nikel kadar 1,8% tidak masuk akal. Pasalnya nikel kadar kurang dari 1,8% pun masih ekonomis digarap di smelter dalam negeri. "Kadar 1,2% juga masih bisa diproses di dalam negeri, apalagi yang 1,8%," katanya kepada KONTAN, Kamis (6/10).
Jonatan menduga, relaksasi ekspor bijih nikel kadar rendah lantaran desakan dari smelter di Jepang yang tidak mendapat pasokan bijih nikel dari Filipina. Ketiga smelter itu yakni Hyuga Sumitomo, Pamco dan Nippon Steel.
Menurutnya tiga smelter nikel di Jepang itu tidak memperoleh suplai dari Filipina akibat 20 tambang nikel ditutup oleh pemerintah setempat. Adapun mereka mendesak pemerintah Indonesia dan Antam untuk suplai nikel ore kadar kurang dari 1,8% ke Jepang. "Karena jenis nikel ini persis yang didapatkan dari Filipina," ujarnya.
Ekspor nikel kadar rendah, kata Jonatan, hanya menguntungkan Antam saja. Maka dari itu ia meminta pemerintah memikirkan investor nikel lain yang sudah berhasil membangun smelter di dalam negeri, guna mendukung program hilirisasi mineral.
Asal tahu saja, Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM) berencana akan merelaksasi ekspor nikel kadar rendah dengan mencantumkan dalam revisi Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2014 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Beleid tersebut ditargetkan rampung pada pekan depan. "Kami belum pernah dimintai pendapat atau masukan soal revisi itu," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News