Reporter: Noverius Laoli, Tri Sulistiowati | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Salah satu poin penting dalam Instruksi Presiden Joko Widodo Instruksi Presiden (Inpres) No 7/ 2016 tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional adalah ke Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.
Dalam Inpres itu, secara khusus, Presiden meminta Susi untuk mengevaluasi aturan-aturan yang menghambat pengembangan perikanan tangkap, budidaya, pengolahan, pemasaran dalam negeri, ekspor hasil perikanan, dan tambak garam nasional.
Selama dua tahun menjabat, Susi memang kerap menerbitkan aturan yang ketat, seperti moratorium kapal asing, pelarangan penggunaan alat tangkap cantrang, larangan transhipment, dan pembatasan kapal asing pengangkut ikan hidup budidaya.
Banyak pengusaha menilai terbitnya aturan-aturan itu berdampak pada menurunnya produksi perikanan nasional lantaran banyak kapal yang tidak beroperasi karena terkendala masalah perizinan.
Makanya, "Kami menyambut baik terbitnya Inpres Nomor 7 itu, ini momentum untuk memperbaiki aturan di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)," kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia (Gappindo) Herwindo kepada KONTAN, Minggu (28/8).
Menurut Herwindo, banyaknya aturan dan pembatasan yang dilakukan oleh Susi telah menghambat peningkatan produksi perikanan dalam negeri.
Beleid yang dipersoalkan itu antara lain Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permenkp) Nomor 56 tahun 2014 tentang Penghentikan Sementara Perizinan Usaha Perikanan Tangkap, dan Permenkp Nomor 57 tahun 2014 mengenai Pelarangan Alih Muatan di Tengah Laut.
Ikan tangkap terhambat
Herwindo bilang, terbitnya aturan-aturan itu telah menghambat peningkatan produksi perikanan tangkap. "Peraturan-peraturan yang dikeluarkan ini membuat dunia usaha sulit bergerak karena aturannya terlalu ketat, saya meminta agar aturan itu dilonggarkan atau dicabut saja," ujar Herwindo.
Ia mengambil contoh soal kebijakan larangan alih muatan di tengah laut yang memberatkan dunia usaha. Menurutnya, harusnya KKP tinggal menempatkan observer di setiap kapal untuk memantau pergerakan kapal dan memasang Vessel Monitoring System (VMS) dan Global Position Satellite (GPS), sehingga tidak perlu lagi melarang alih muatan di tengah laut.
Selain itu, larangan eks kapal asing beroperasi juga dinilai tidak kondusif lagi diberlakukan. Apalagi KKP dinilai hanya mengeluarkan larangan tapi tidak memberikan solusi.
"Meskipun kapal itu dibuat di negara lain tapi yang punya kan orang Indonsia, sama dengan mobil yang dibuat di negara lain tapi atas nama orang Indonesia. Nah, ini harus cepat direvisi juga," tambah Herwindo.
Menurut Herwindo, ada baiknya Menteri Susi segera merespons Inpres tersebut dengan mengevaluasi aturan-aturan yang dinilai menghambat industri perikanan, ketimbang membangun pabrik pengolahan ikan di pulau-pulau terluar. Pembangunan kawasan perikanan di pulau terluar ini termasuk salah satu program yang tertuang dalam Inpres Nomor 7 tahun 2016.
Presiden Direktur PT Dharma Samudera Fishing Industries Tbk (DSFI) Johanes Sarsito mengakui, aturan-aturan KKP itu memang berdampak terhadap produksi perikanan tangkap. Menurutnya, produksi mengalami penurunan setelah operasional kapal-kapal besar banyak yang berhenti karena terindikasi melanggar aturan KKP.
Untungnya, DSFI selama ini sudah bekerjasama dengan nelayan tradisional, sehingga tetap mendapatkan pasokan bahan baku ikan untuk diolah oleh perusahaan tersebut. "Memang harus diakui sekarang persaingan memperebutkan bahan baku lebih ketat daripada sebelumnya, kalau dulu katakanlah ada lima perusahaan bersaing mendapatkan hasil tangkapan nelayan, sekarang naik menjadi 10 perusahaan," imbuhnya.
Ia menjelaskan, agar bisa mendapatkan bahan baku untuk diolah, maka DSFI harus membeli ikan dari nelayan dengan harga yang proporsional. Artinya, ada peningkatan harga dibanding sebelum adanya kebijakan pembatasan kapal-kapal ikan oleh KKP.
Masalahnya, hingga saat ini, setelah moratorium dihentikan, sejumlah kapal skala besar masih belum beroperasi karena perlu mengurus perizinan kembali dengan persyaratan yang lebih ketat. Ini pula yang menjadi persoalan bagi banyak perusahaan pengolahan ikan, tak hanya DSFI.
Menurutnya, pemerintah harus segera memberikan jalan keluar agar hasil tangkapan ikan dalam negeri bisa kembali meningkat. "Kalau misalkan produksi lokal kurang untuk bahan baku, maka mau tak mau kami menutupinya dari impor," ujar Sarsito.
Kendati demikian, Sarsito enggan menjelaskan berapa persen kenaikan impor bahan baku DSFI pasca adanya pembatasan pergerakan kapal ikan dalam negeri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News