kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.348.000   -50.000   -2,09%
  • USD/IDR 16.726   -19,00   -0,11%
  • IDX 8.370   -1,56   -0,02%
  • KOMPAS100 1.159   1,71   0,15%
  • LQ45 844   2,78   0,33%
  • ISSI 293   0,51   0,17%
  • IDX30 443   1,88   0,43%
  • IDXHIDIV20 509   1,38   0,27%
  • IDX80 131   0,22   0,17%
  • IDXV30 136   -1,02   -0,74%
  • IDXQ30 140   0,57   0,41%

Revisi Perpres EBT: Pemerintah Buka Peluang PLTU Batubara Baru?


Minggu, 16 November 2025 / 15:41 WIB
Revisi Perpres EBT: Pemerintah Buka Peluang PLTU Batubara Baru?
ILUSTRASI. PLN Indonesia Power (PLN IP) mengumumkan telah membangun sistem digitalisasi rantai pasok biomassa berbasis marketplace. Kini sudah mulai dioperasikan di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Adipala, Cilacap, yang dikelola oleh Unit Bisnis Pembangkitan (UBP) Jawa Tengah 2 Adipala


Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah tengah menggodok revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.

Namun, draf perubahan beleid yang beredar dalam konsultasi publik memantik sorotan karena dinilai membuka peluang tambahan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara baru, meskipun pemerintah menyebut perubahan ini untuk menjaga keandalan sistem dan pemenuhan listrik nasional.

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung menegaskan revisi Perpres 112/2022 tetap ditujukan untuk memperluas pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT). Pasalnya, realisasi bauran listrik EBT saat ini baru mencapai 16% sehingga masih jauh dari target.

"Sesuai RUPL PLN tidak  ada pelonggaran untuk pembangunan PLTU, yang sudah masuk perencanaan tetap jalan dan untuk PLTU yang memberikan kontribusi tinggi terhadap emisi gas rumah kaca lagi di susun early retirement," kata dia kepada Kontan, Minggu (16/11/2025).

Yuliot menjelaskan, aturan mengenai pembangkit listrik tenaga hibrida (PLT hibrida) ditujukan untuk program dedieseliasi terutama di daerah 3T.

Baca Juga: Sektor EBT Jadi Primadona, Kolaborasi Jadi Kunci Swasembada Energi Nasional

Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Dadan Kusdiana juga menyampaikan hal serupa. Dia menilai tidak ada rencana pemerintah melonggarkan izin pembangunan PLTU baru.

Menurutnya, aturan yang ada sudah mengatur PLTU hanya dapat dibangun dengan kriteria tertentu, misalnya mendukung industri yang memberi dampak signifikan bagi perekonomian nasional serta tetap menerapkan upaya penurunan emisi.

"[Revisi Perpres 112/2022] masih relevan dan dengan tetap menerapkan upaya penurunan emisi," ujar dia kepada Kontan, Minggu (16/11/2025/).

Meski demikian, sejumlah pihak menilai draf revisi justru memuat perluasan pengecualian pembangunan PLTU baru. Policy Strategist CERAH Naomi Devi Larasati bilang, rancangan beleid ini berpotensi menghambat pencapaian target 100% energi terbarukan sebagaimana disampaikan Presiden Prabowo Subianto pada Juli lalu.

“Penambahan pengecualian PLTU baru dapat memengaruhi investor dan menimbulkan pertanyaan atas komitmen Indonesia terhadap energi terbarukan,” ujar dia kepada Kontan, Minggu (16/11/2025).

Dia mengingatkan target bauran energi 2030 sebesar 19–23% bisa semakin sulit dicapai jika pemerintah kembali memberi ruang bagi PLTU.

Baca Juga: Sebanyak 47 PLTU di Indonesia Sudah Terapkan Teknologi Co-firing Biomassa

Dalam dokumen konsultasi publik, Pasal 3 Perpres 112/2022 disebut akan direvisi untuk menambahkan pengecualian baru pembangunan PLTU atas alasan menjaga keandalan sistem dan kemandirian energi.

Padahal, aturan saat ini telah memberikan ruang pembangunan PLTU yang masuk RUPTL, terintegrasi dengan industri berbasis sumber daya alam, atau masuk daftar Proyek Strategis Nasional (PSN).

“Perubahan ini kontradiktif dengan komitmen mencapai 100% energi terbarukan pada 2035. Penambahan PLTU baru, meski disyaratkan penurunan emisi, tetap memperbesar porsi batubara dalam sistem energi nasional,” kata Naomi.

Dalam draf revisi, komitmen penurunan emisi minimal 35% dalam 10 tahun dapat dipenuhi lewat PLT hibrida, co-firing biomassa, carbon offset, atau peningkatan bauran energi terbarukan.

“Sebagian dari opsi ini merupakan solusi palsu yang tidak mengurangi ketergantungan pada energi fosil,” tambahnya.

Policy & Program Manager CERAH Wicaksono Gitawan menyoroti PLT hibrida sebagai celah kebijakan dalam revisi Perpres. Beberapa PLTU hibrida sudah masuk dalam RUPTL 2025–2034, seperti PLTU Mulut Tambang Kalselteng-3.

Baca Juga: Kementerian ESDM Pastikan PLTU Batubara Kapasitas 3,2 GW Bakal Beroperasi Tahun 2025

“Penambahan PLT hibrida on-grid akan memperlambat masuknya pembangkit energi terbarukan,” ujar Wicaksono.

Dia juga mengingatkan, Indonesia masih terjebak kelebihan pasokan listrik dari Program 35.000 MW, yang menyebabkan terkuncinya sistem kelistrikan pada PLTU dan menghambat pertumbuhan energi terbarukan.

Revisi beleid juga mensyaratkan pembangunan PLTU baru harus mendukung target Net Zero Emission (NZE) 2060 sesuai Kebijakan Energi Nasional (KEN). Namun, Naomi menyebut klausul tersebut tidak dilengkapi peta jalan teknis, target penurunan emisi bertahap, maupun instrumen pengawasan yang memadai.

“Tanpa kejelasan, aturan ini berpotensi menjadi formalitas semata,” katanya.

Wicaksono menilai revisi Perpres 112/2022 kian memperbanyak dokumen energi nasional yang tidak sejalan dengan komitmen transisi energi, termasuk KEN, RUKN, RUPTL 2025–2034, hingga draf investasi Just Energy Transition Partnership (JETP) yang kini bergeser dari rencana pensiun dini ke repurposing PLTU.

“Presiden Prabowo perlu memastikan kebijakan energi kabinetnya sejalan dengan janji transisi energi yang disampaikan di forum internasional. Indonesia berpeluang menjadi pemimpin transisi energi, tetapi membutuhkan kebijakan yang konsisten,” ujarnya.

Baca Juga: PLN Operasikan SUTET 275 kV PLTU Sumsel 1-Betung

Pengamat energi Energy Shift Institute Putra Adhiguna menambahkan, pelonggaran PLTU merupakan sinyal mundur yang tidak selaras dengan arah investasi global. Dunia telah bergerak lebih cepat, dengan investasi energi bersih sejak 2023 melampaui investasi bahan bakar fosil.

“Meski China masih membangun PLTU, 80% pertumbuhan listrik mereka sudah dipenuhi energi bersih,” ujarnya kepada Kontan, Minggu (16/11/2025).

Menurut Putra, kelebihan kapasitas PLTU yang terjadi saat ini menjadi salah satu penyebab lambatnya investasi EBT. Menambah PLTU berarti memperdalam tantangan bagi PLN dan menambah tekanan pada investasi energi bersih.

“Kebijakan DMO batubara juga perlu ditinjau karena turut menghambat penetrasi EBT. Bauran energi nasional harus lebih mencerminkan arah pergeseran global,” tandas Putra.

Baca Juga: Sebanyak 47 PLTU di Indonesia Sudah Terapkan Teknologi Co-firing Biomassa

Selanjutnya: Dampak Lingkungan MBG: Sampah Makanan Melonjak di Cimahi

Menarik Dibaca: Apakah Timun Bisa Menurunkan Kolesterol Tinggi atau Tidak? Ini Jawabannya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×