Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah sedang menyusun kebijakan terkait tarif royalti batubara. Pelaku usaha pun telah mengajukan usulan tarif royalti bagi para pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) ketika nanti mendapatkan perpanjangan operasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menyampaikan bahwa usulan pelaku usaha sudah disampaikan kepada pemerintah pada November 2020 lalu. Dia mengklaim, usulan tarif royalti yang diajukan telah mempertimbangkan kewajiban penerimaan negara yang lebih tinggi saat PKP2B diperpanjang menjadi IUPK.
Hal itu sesuai amanah dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 alias UU Mineral dan Batubara (UU Minerba). "Prinsipnya harus ada kenaikan penerimaan negara sesuai mandat undang-undang, semua kita sudah setuju, itu bukan isu lagi. Cuman formulasi bagaimana, kita usulkan itu," kata dia kepada Kontan.co.id, Senin (8/2).
Pelaku usaha mengusulkan tarif royalti progresif dengan mengacu pada index Harga Batubara Acuan (HBA). Ada empat rentang yang diusulkan. Pertama, jika harga di bawah US$ 70 per ton maka tarif royalti yang dikenakan untuk domestik sebesar 14%, begitu juga untuk ekspor.
Kedua, jika harga dalam rentang US$ 70-US$ 80 per ton, maka royalti untuk domestik diusulkan 14%, dan 16% untuk ekspor. Ketiga, saat harga US$ 80-US$ 90 per ton, royaltinya 14% untuk domestik dan 18% untuk ekspor.
Baca Juga: Bangun smelter tembaga, Amman Mineral Nusa Tenggara buka opsi kerjasama
Keempat, jika harga di atas US$ 90 per ton maka royalti untuk domestik dikenakan 14% dan 20% untuk ekspor. Artinya, tarif untuk pasokan domestik diusulkan flat di angka 14%, sedangkan untuk ekspor berjenjang sesuai harga hingga dari 14% hingga 20%.
Menurut Hendra, dengan simulasi tersebut akan ada peningkatan penerimaan negara sekitar 4%-7% dari IUPK hasil perpanjangan operasi PKP2B. Dibandingkan tarif royalti PKP2B sekarang yang sebesar 13,5%.
"Ya, itu kami punya simulasi internal. Pemerintah juga punya hitungan dan simulasinya. Pemerintah yang punya wewenang untuk memutuskan," ungkap Hendra.
Dia menjelaskan, simulasi tersebut sudah mempertimbangkan tingkat produksi, stripping ratio, maupun karakteristik masing-masing tambang. "Makanya hasil simulasi ada range. Misal dari perusahaan ini hasil simulasi dengan tarif begini kenaikan penerimaan negara 4%, yang itu bisa 6%-7% dengan asumsi tersebut," terang Hendra.