Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
Yang pasti, dia mengingatkan bahwa karakteristik tambang PKP2B yang akan menjadi IUPK adalah tambang tua, sehingga biaya untuk produksi akan semakin mahal karena harus menggali semakin dalam. Sehingga, besaran tarif royalti akan menentukan kelayakan ekonomi dalam produksi.
"Tambang tua, cadangan makin dalam, biaya produksi makin tinggi. Jadi kalau tarif royalti dinaikkan ketinggian, nggak ekonomis. Tapi kami mengerti harus ada peningkatan penerimaan negara, itu yang harus di-balance," ujar Hendra.
Sedangkan untuk tarif royalti batubara Izin Usaha Pertambangan (IUP), Hendra menilai masih cukup fair untuk memberlakukan ketentuan royalti 3%, 5% dan 7% berdasarkan kualitas batubara.
Terpisah, Ketua Indonesia Minging and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo berpandangan bahwa wacana tarif royalti progresif bagi IUPK kelanjutan PKP2B sudah tepat. Dia juga mengamini bahwa tarif progresif royalti jangan hanya dilihat dari sisi pendapatan negara saja, tapi juga dari sejumlah parameter pertambangan batubara.
Yaitu terkait dengan konservasi cadangan, pola penyebaran batubara, hingga bagaimana batubara itu diproduksi. Sebab dengan asumsi di level harga yang tertekan, perusahaan pasti akan melakukan efisiensi, salah satunya melalui stripping ratio.
"Ini akan berdampak pada konservasi cadangan, meskipun seolah pendapatan negara tetap. Jadi penetapan batas bawah pasti lebih pada alasan mengamankan target pendapatan negara," sambung Singgih.
Dia pun menyarankan agar tidak ada pemisahan tarif progresif untuk domestik dan ekspor. Sebab, batas harga maksimal US$ 70 per ton untuk domestik (DMO) pun pada kemudian hari bisa jadi akan berubah.
Namun, mengingat hampir 75% batubara Indonesia ditujukan untuk pasar ekspor yang mengikuti harga internasional, penetapan tarif progresif bisa menjadi salah satu cara untuk memenuhi amanah UU Cipta Kerja yang mana batubara menjadi Barang Kena Pajak (BKP).
Baca Juga: Pemerintah kembali tegaskan ekspor mineral mentah akan ditutup tahun 2023
"Namun yang perlu dipertimbangkan selain sebatas progresif, dalam pembagiannya harus benar-benar dikalkulasi dengan sangat detail atas sebaran batubara, kualitas batubara, potensi serapan ekspor dan potensi negara importir," ungkap Singgih.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin mengatakan bahwa perubahan tarif royalti dilakukan untuk meningkatkan pendapatan negara. Untuk batubara, penyesuaian tarif royalti dilakukan lantaran terjadi perubahan status batubara. Dari yang semula barang bukan kena pajak, sekarang menjadi barang kena pajak.
Akibatnya, dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Perpajakan yang sedang disusun oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu), royalti batubara akan disesuaikan secara berjenjang. Artinya, akan mengikuti dinamika pasar.
"Secara keseluruhan upaya ini adalah untuk menjamin bahwa penerimaan negara meningkat, karena peningkatan penerimaan negara adalah mandat dari UU Minerba," jelas Ridwan dalam paparan realisasi kinerja Minerba 2020 dan rencana 2021 secara daring, Jumat (15/1).
Dia mengklaim, pemerintah tetap akan memperhatikan kepentingan pelaku usaha, sehingga masih dapat menjalankan kegiatan usahanya dengan baik. Sayangnya, Ridwan belum membeberkan bagaimana skema tarif royalti berjenjang yang sedang dibahas pemerintah.
"Saya belum dapat menyampaikan angkanya karena belum diputuskan. Namun sesuai dengan harga batubara pada kondisi tertentu. Jadi tidak berada pada satu angka saja, disesuaikan dengan dinamika pasar juga," pungkas Ridwan.
Selanjutnya: Northstar Group dan Google berkolaborasi guna percepat pertumbuhan ekonomi digital
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News