Reporter: Agustinus Beo Da Costa | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akhirnya menyetujui usulan Kementerian Keuangan untuk menaikkan tarif royalti batubara yang dihasilkan oleh pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) batubara. Tarif baru, yang maksimal akan naik 13%, akan diberlakukan mulai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2014.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan memperkirakan tambahan penerimaan negara dari Sumber Daya Alam (SDA), khususnya royalti, sebesar Rp 4 triliun. Namun sebelum rencana bergulir, Kementerian ESDM juga harus merevisi Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 2012 tentang royalti batubara untuk perusahaan pemegang Izin Usaha Penambangan (IUP).
Menanggapi kenaikan royalti perusahan batubara tersebut, Sekretaris Perusahan PT Bukit Asam Tbk, Joko Pramono, mengatakan, langkah pemerintah menaikkan royalti bagi perusahaan batubara yang berstatus pemegang IUP, merupakan bentuk diskriminasi. Ia menambahkan, kenaikan tarif menunjukkan ketimpangan perlakuan pemerintah terhadap pemegang IUP jika dibandingkan dengan perlakuan bagi perusahan tambang pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
Betapa tidak, kata Joko, pada tahun 2012, misalnya, PTBA memproduksi batubara sebanyak 15 juta dengan laba bersih Rp 2,9 triliun. Saat ini royalti bagi perusahaan pemegang IUP berkisar antara 6%-10%. PTBA sendiri terkena royalti 6%-7%.
Dengan royalti sebesar 6%-7% saja, , pada tahun 2012 PTBA memberikan kontribusi bagi penerimaan negara sebesar Rp 3,5 triliun. "Kontribusi ini bahkan lebih besar dari pada laba bersih kami," ungkap dia kepada KONTAN, Minggu (16/6).
Pada saat yang sama, banyak perusahan tambang batubara pemegang PKP2B yang memproduksi batubara dalam jumlah yang jauh lebih besar dari PTBA dengan kisaran 50-juta ton sampai 70 juta ton. Namun laba bersih dan kontribusi perusahaan itu terhadap negara lebih kecil.
Padahal, menurut dia, perusahan tambang batubara pemegang PKP2B ini seringkali mendapatkan keringanan pajak, keringanan perizinan dan berbagai perlakukan khusus lainnya. Karena itu , Joko berharap, perlu adanya pembahasan ulang terkait hak-hak dan kewajiban antara perusahan pemegang IUP dan pemegang PKP2B.
Banyak yang mati
Joko membenarkan, kenaikan besaran maksimal royalti batubara sebesar 13% akan menambah pemasukan bagi negara. Namun dari sisi perusahaan, tentu kenaikan royalti akan menambah beban. "Tapi kenaikan royalti ini tidak akan sangat signifikan hingga menggerus laba bersih perusahaan," ungkap dia.
Sementara Sekretaris Perusahaan PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), Roslini Onwardi, mengaku, belum mengetahui bagaimana bunyi aturan baru terkait royalti batubara yang dihasilkan perusahan pemegang IUP. Menurut Roslini, ITMG memegang IUP untuk tambang PT Kitadin Tandung Mayang di Bontang, Kalimantan Timur yang memiliki cadangan mencapai 19 juta ton batubara. "Kami masih lihat aturan itu bagaimana nantinya. Saya sendiri belum lihat dan baca aturannya," ujar Roslini.
Hal yang sama diungkapkan oleh Sekretaris Perusahan PT Adaro Indonesia Tbk, Devindra Ratzarwin. Dia mengaku belum mendapatkan informasi tentang rencana pemerintah menaikan besaran tarif royalti batubara bagi perusahaan pemegang IUP hingga maksimal 13%. "Yang saya tahu hal tersebut masih dalam pembahasan," ungkap dia.
Lagipula, ujar Devindra, Adaro Indonesia, anak usaha Adaro Energy, yang menyumbang pendapatan terbesar merupakan pemegang izin PKP2B. "Hingga saat ini, Adaro Indonesia masih on the track dalam pencapaian target tahun 2013," ungkap dia.
Bob Kamandanu, Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batubara, menilai, rencana pemerintah menaikan royalti bagi pemegang IUP dalam situasi seperti saat ini kurang tepat. Ia mengingatkan, harga batubara di pasar dunia berada dalam tren melemah. Dengan kata lain, industri batubara sedang suram. "Kalau ditambah lagi dengan kenaikan royalti, itu bisa mematikan banyak perusahan pemegang IUP," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News