kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.343.000 -0,81%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sejumlah alasan digitalisasi nozzle SPBU Pertamina lamban


Minggu, 01 September 2019 / 17:51 WIB
Sejumlah alasan digitalisasi nozzle SPBU Pertamina lamban
ILUSTRASI. Pengisian bahan bakar di SPBU Pertamina


Reporter: Filemon Agung | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Pertamina (Persero) mengungkapkan, ada sejumlah alasan proses digitalisasi nozzle Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) berjalan lamban.

Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) dalam konferensi pers kali lalu mengungkapkan, seharusnya program tersebut sudah rampung pada Desember 2018 lalu, dengan begitu semestinya pengawasan jual-beli solar bersubsidi sudah bisa efektif dilakukan.

"Waktu itu sepakat akhir Desember 2018 berjalan semua, ternyata belum tercapai. Dengan itu (Noozle) harusnya bisa mencatat ke mana bahan bakar minyak (BBM) subsidi itu tersalur," kata Fanshurullah Assa selaku Kepala BPH Migas, Minggu (1/9).

Baca Juga: Perluas digitalisasi hulu-hilir, Pertamina incar potensi hingga Rp 5 triliun

Asal tahu saja, penyelesaian Noozle memang terus molor. Setelah gagal rampung pada akhir tahun lalu, Pertamina menargetkan bisa menyelesaikannya pada Juni 2019. Namun, target itu kembali gagal dan saat ini target itu kembali mundur hingga akhir tahun ini.

Dari target 5.518 SPBU yang akan didigitalisasi Noozle, sampai dengan Juni 2019 baru terealisasi pada 1.327 SPBU.

Menanggapi hal ini, Direktur Pemasaran Ritel Pertamina Masud Khamid bilang, ada sejumlah hal yang mengganjal proses digitalisasi nozzle. "Kendala pertama dari infrastruktur SPBU, selama ini diasumsi sudah ada perangkatnya, sudah ada soketnya, sudah ada raknya, ternyata tidak," ujar Masud ditemui di Jakarta, Jumat (30/8). Menurutnya, infrastruktur SPBU yang sudah puluhan tahun tidak mengakomodir desain untuk penerapan digitalisasi nozzle.

Baca Juga: Kuota solar berpotensi jebol hingga 1,4 juta KL

Masud menilai, penyebab lain berasal dari minimnya pemahaman pengelola SPBU. Aspek keamanan kerap menjadi kekhawatiran pengelola SPBU. Namun, ia memastikan hal ini telah diatasi Pertamina lewat upaya edukasi kepada para pengelola SPBU.

Adapun kendala lainnya berasal dari petugas teknisi PT Telkom Indonesia. Meskipun ahli dalam urusan digitalisasi, Masud beranggapan sektor minyak dan gas merupakan sesuatu yang baru bagi Telkom.

Kendala terakhir, menurut Masud diakibatkan beragamnya integrasi aplikasi. "Jadi memang meskipun secara hardware itu sudah diinstal semua tapi itu perlu integrasi dan yang  diintegrasikan tidak sekadar mendigitalkan pengukuran SPBU tetapi juga dengan pos LinkAja," tutur Masud.

Hal ini berarti, Pertamina dan Telkom juga perlu mengintegrasikan mesin Electronic Data Capture (EDC) LinkAja pada masing-masing SPBU.

Baca Juga: Makin kondusif, Pertamina kembali salurkan BBM di Manokwari, Sorong, dan Jayapura

Lebih jauh Masud memastikan, hingga saat ini sudah ada 200 unit yang terintegrasi dan tersebar di Jakarta. "Tapi untuk perangkat keras (hardware) telah terinstall pada 5.000 SPBU tersebar dihampir seluruh Indonesia baik milik swasta maupun Pertamina," ungkap Masud.

Hingga akhir tahun nanti, Pertamina menargetkan proyek digitalisasi nozzle dapat rampung sepenuhnya. "Diharapkan akhir tahun rampung (terintegrasi), ini akan beri manfaat monitoring BBM Subsidi, Profiling Managing Customer dan Efisiensi bagi Pertamina," tandas Masud.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×