Reporter: Agung Hidayat | Editor: Rizki Caturini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Perindustrian (Kemperin) menilai Industri Kimia, Tekstil dan Aneka (IKTA) bakal punya daya saing besar baik di dalam maupun luar negeri. Untuk menumbuhkan daya saing tersebut, sektor ini perlu didukung dengan ketersediaan dan keterjangkauan pasokan energi yang mumpuni, seperti listrik dan gas.
Airlangga Hartanto, Menteri Perindustrian mengatakan, memang ada anomali ketika sektor industri manufaktur mampu tumbuh 4,8% di 2017 namun industri listrik hanya naik 3% saja. "Mestinya listrik harus bisa lebih tinggi lagi," katanya saat breakfast meeting sektor IKTA, Senin (19/2).
Menurutnya, hal tersebut tak terlepas dari banyaknya industri besar yang sudah mengalihkan pasokan listriknya ke powerplant masing-masing. Sayangnya, tidak banyak industri yang mampu memiliki pasokan listrik sendiri.
Sementara itu Christine Halim, Ketua Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI) mengeluhkan banyak pebisnis skala menengah yang mengeluhkan ketersediaan listrik. "Banyak dari kami tentu saja tidak mampu memakai suplai listrik premium yang mahal, sementara listrik butuh banyak untuk penambahan produksi," ujar Christine yang juga Direktur Utama PT Langgeng Jaya Plastindo.
Padahal selama ini industri plastik daur ulang cukup berprestasi di bidang ekspor. "Kami punya sekitar 280 anggota yang mengekspor mulai dari Bangladesh, Eropa Timur dan China," ujar Christine.
Di lain pihak, industri keramik menyoroti wacana penurunan harga gas yang tak kunjung terjadi. Elisa Sinaga, Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) mengharapkan ada solusi agar harga gas bisa mempengaruhi kompetisi industrinya baik di dalam dan luar negeri.
"Sebab saat ini saja impor keramik mulai marak. Setelah bea masuk mereka berkurang Impor berkemungkinan tumbuh hingga 40%," terang Elisa dalam kesempatan yang sama (19/2). Selain harga gas yang menyulitkan produsen bersaing secara harga, pengendalian keramik impor dirasa belum ketat.
Soal harga gas, industri IKTA berharap agar pengembangan Blok Masela dapat terealisasi secepatnya. Namun sampai saat ini belum mendapatkan titik temu antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan investor.
Tiga investor tersebut antara lain Sojitz, Elsoro Multi Pratama dan Indorama. "ESDM mintanya US$ 5,8 per mmbtu, sementara investor seperti Sojitz inginnya US$ 4," kata Direktur Jenderal Kemenperin Sektor IKTA Achmad Sigit Dwiwahjono.
Akibatnya kesepakatan belum terjadi dan proyek pengembangan gas di Blok Masela belum bisa terealisasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News