kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sepanjang 2019, industri manufaktur menyumbang nilai ekspor terbesar


Senin, 06 Januari 2020 / 16:34 WIB
Sepanjang 2019, industri manufaktur menyumbang nilai ekspor terbesar
ILUSTRASI. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita memaparkan Kinerja Tahun 2019 dan Outlook Pembangunan Industri Tahun 2020 di Jakarta, Senin (6/1).


Reporter: Amalia Fitri | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Perindustrian RI, Agus Gumiwang Kartasasmita menyebut industri manufaktur menjadi sektor yang menyumbang paling besar pada nilai ekspor nasional sepanjang 2019.

Sepanjang periode Januari-Oktober 2019, ekspor produk manufaktur mencatatkan senilai US$ 105,11 miliar.

Adapun tiga sektor yang menjadi kontributor terbesar terhadap nilai ekspor tersebut, adalah industri makanan dan minuman yang menembus US$ 21,73 miliar, diikuti industri logam dasar sekitar US$14,64 miliar, serta industri tekstil dan pakaian jadi sebesar US$10,84 miliar.

"Kami proyeksikan, pada tahun 2019, ekspor produk industri menyentuh angka US$123,7 129,8 miliar. Sedangkan, pada tahun 2020, ekspor produk industri bakal menembus US$136,3 miliar sampai US$142,8 miliar," jelas Agus sebagaimana dikutip dari keterangan resmi yang diterima Kontan, Senin (6/1).

Baca Juga: Tahun 2020 menjadi tahun kritis untuk Indonesia

Ia menambahkan, industri pengolahan juga merupakan sektor yang berkontribusi besar terhadap penerimaan pajak. Sampai dengan Triwulan III 2019, kontribusinya 29,23% dari penerimaan pajak neto nasional, atau sebesar Rp245,60 triliun.

Melihat data tersebut, ada tujuh tantangan yang dihadapi dalam melaksanakan program pembangunan industri saat ini. Pertama, kekurangan bahan baku seperti kondensat, gas, naphta, biji besi.

Kedua, kurangnya infrastruktur seperti pelabuhan, jalan, dan kawasan industri. Ketiga, kurangnya utility seperti listrik, air, gas, dan pengolah limbah.

Keempat, kurangnya tenaga terampil dan supervisor, superintendent. Kelima, tekanan produk impor. Keenam, limbah industri seperti penetapan slag sebagai limbah B3, spesifikasi yang terlalu ketat untuk kertas bekas dan baja bekas (scrap) menyulitkan industri.

Ketujuh, Industri Kecil dan Menengah (IKM) masih mengalami kendala seperti akses pembiayaan, ketersediaan bahan baku dan bahan penolong, mesin peralatan yang tertinggal, hingga pemasaran.

Baca Juga: Menperin targetkan pertumbuhan manufaktur 2020 capai 5,3%

“Terhadap berbagai tantangan yang dihadapi tersebut, saat ini kami terus melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikannya, termasuk selalu berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait,” ujar Menperin.

Pada kesempatan yang sama, ia berkata untuk mewujudkan agenda pembangunan jangka menengah sesuai RPJMN 2020-2024, pemerintah telah menetapkan berbagai program prioritas jangka pendek (quick wins).

Sebagai informasi, di bidang perekonomian, terdapat 15 program prioritas, di mana Kemenperin turut terlibat dalam 13 program, di antaranya Implementasi Mandatori B-30, Perbaikan Ekosistem Ketenagakerjaan, Jaminan Produk Halal, Pengembangan Litbang Industri Farmasi, Penguatan Trans Pacific Petrochemical Indotama, Perubahan Kebijakan Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan Penerapan Kartu Pra Kerja.

Selanjutnya, Pengembangan Kawasan Batam, Bintan dan Karimun (BBK), Gasifikasi Batubara, Perjanjian Investasi BIA Indonesia-Taiwan, Pengembangan Hortikultura Berorientasi Ekspor, Green Refinery di Plaju, Sumatera Selatan, serta Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×