kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45905,16   6,41   0.71%
  • EMAS1.318.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sepatu lokal kalah bersaing dengan negara lain


Kamis, 14 Februari 2013 / 10:45 WIB
Sepatu lokal kalah bersaing dengan negara lain
ILUSTRASI. Sydney Opera House di tengah pelonggaran pembatasan penyakit Covid-19 di Sydney, Australia, 20 Mei 2020.


Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Markus Sumartomjon

JAKARTA. Kenaikan upah pekerja di industri sepatu memicu kenaikan beban produksi. Imbasnya, kenaikan harga jual produk sepatu di pasar ekspor pun tak terelakkan.

Menteri Perindustrian MS Hidayat mengungkapkan produsen sepatu berorientasi ekspor dengan tenaga kerja minimal 10.000 pekerja ditengarai harus menambah beban biaya sekitar US$ 10 juta per tahun akibat kenaikan upah buruh. Akibatnya, harga rata-rata sepatu ekspor naik  hingga US$ 1 per pasang.

Padahal, selama 10 tahun terakhir, kenaikan harga sepatu ekspor rata-rata hanya mencapai US$ 0,2 per pasang  per tahunnya. "Akibatnya harga sepatu kita di pasar ekspor tidak kompetitif," katanya di diskusi reposisi industri manufaktur dan dampaknya pada industri paska kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 2013 di Jakarta (13/2).

Kenaikkan UMP yang mencapai 43% tahun ini berdampak signifikan bagi industri padat karya seperti alas kaki (sepatu). Bersama industri tekstil dan barang dari kulit, adanya kenaikan UMP ini membuat biaya produksi bisa naik mencapai 7,69%.

Mayoritas jenis produk sepatu yang diekspor dari Indonesia adalah sepatu sport dengan kontribusi sekitar 70%. Lalu diikuti sepatu kasual dengan kontribusi lebih dari 25%. Sisanya sepatu kulit.

Lee Kang Hyun, Wakil Ketua Umum Korean Chamber of Commerce and Industry of Indonesia mengatakan pelaku industri padat karya asal Korea Selatan di Indonesia mengalami kenaikkan biaya buruh minimal 20%.

Bagi Industri alas kaki yang memiliki merek sendiri, menurut Lee, kenaikkan beban upah buruh mencapai 20% sampai 25% per perusahaan. Sedangkan bagi perusahaan yang beroperasi sesuai pesanan pihak ketiga, bisa mengalami beban biaya buruh hingga 70%. "Di Indonesia ada sekitar 350 perusahaan tekstil dan 200 perusahaan sepatu asal Korea," kata Lee.

Menurutnya, kenaikan upah buruh dinilai tidak sesuai dengan produktivitas pekerja.

Ia mencontohkan rata-rata gaji buruh terendah industri alas kaki di Tangerang, Banten mencapai US$ 232 per bulan dengan jam kerja 40 jam per minggu. Di Dongguan, China, untuk jam kerja yang sama upah tiap buruh minimal rata-rata US$ 183 per bulan.

Malah, rata-rata upah pekerja sepatu minimal di Ho Chi Minh, Vietnam, dengan jam kerja 48 jam per minggu cuma US$ 112 per bulan.  "Upah buruh yang tinggi tidak sebanding dengan produktivitas sehingga menurunkan daya saing," lanjutnya.

Peningkatan beban produksi ini mendorong biaya produksi tiap pasang sepatu ekspor Indonesia rata-rata mencapai US$ 6,8. Sedangkan biaya produksi per pasang sepatu di China dan Vietnam masing-masing hanya sebesar US$ 5,96 dan US$ 4,69.

Anton J Supit, Anggota Dewan Pembina Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) bilang seharusnya industri sepatu bisa menjadi solusi bagi pemerintah untuk menanggulangi angka pengangguran yang mencapai 41 juta orang.

Kenyataannya, tuntutan upah buruh membuat industri sepatu mengalami kerugian. Seperti PT Panarub Dwikarya mengalami pemutusan kontrak produksi sepatu dari pembeli sebanyak 50.000 pasang per bulan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×