kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Setelah larangan ekspor nikel, bagaimana nasib mineral mentah lain?


Minggu, 15 September 2019 / 19:40 WIB
Setelah larangan ekspor nikel, bagaimana nasib mineral mentah lain?


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setelah mempercepat larangan ekspor bijih nikel dengan kadar kurang dari 1,7%, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) belum berencana memperluas percepatan larangan ekspor pada mineral mentah lainnya.

Hal itu ditegaskan oleh Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak. "(Mineral mentah) yang lainnya masih nggak, cuman nikel yang sudah," kata Yunus ke Kontan.co.id, Minggu (15/9).

Baca Juga: Darma Henwa (DEWA) optimistis capai produksi 17 juta ton batubara hingga akhir 2019

Berbeda dengan nikel, Yunus menilai bahwa belum ada urgensi untuk mempercepat larangan ekspor pada jenis mineral mentah lainnya. Sedangkan untuk nikel, percepatan larangan diperlukan untuk mengamankan pasokan ke dalam negeri, khususnya bagi pemenuhan kebutuhan industri beterai mobil listrik.

"Kalau yang nikel itu ya kita lihat kebutuhan industri," kata Yunus.

Seperti diketahui, salah satu alasan percepatan larangan ekspor bijih nikel kadar rendah ialah karena komoditas tersebut bisa diolah menjadi cobalt serta lithium sebagai bahan baku pembuatan baterai untuk kendaraan listrik.

Saat ini, kata Yunus, saat ini sudah ada empat proyek smelter nikel skala besar untuk industri prekursor yang akan memproduksi bahan baku baterai. Pertama smelter Hauyue Bahadopi di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Proyek yang dimiliki PT Huayue Nikel Cobalt ini rencananya memiliki kapasitas input 11 juta ton bijih nikel per tahun dan kapasitas output 60.000 ton Ni per tahun dan 7.800 ton kobalt. 

Investasi dari proyek ini sebesar US$ 1,28 miliar dengan pembangunan mulai Januari 2020 sampai Januari 2021.

Baca Juga: Sentuh Rp 745.000 per gram, emas Antam bisa dicicil beli

Berikutnya smelter QMB Bahodopi di Morowali, Sulawesi Tengah, dengan kapasitas input 5 juta ton bijih nikel per tahun serta kapasitas output 50.000 ton Ni per tahun dan 4.000 ton kobalt. Proyek yang dimiliki PT QMB New Energy Material ini memiliki nilai investasi US$998,47 juta.

Ketiga, smelter PT Harita Prima Abadi Mineral (HPAM) dengan kapasitas input 8,3 juta wet ton bijih nikel per tahun dan kapasitas output 278.534 ton dalam bentuk mixed hydroxide precipitate (MHP), nikel sulfat, dan kobalt sulfat. Nilai investasi proyek ini mencapai US$10,61 miliar.

Terakhir, smelter PT Smelter Nikel Indonesia dengan kapasitas input 2,4 juta wet ton bijih nikel per tahun dan kapasitas output 76.500 ton dalam bentuk MHP, nikel sulfat, dan kobalt sulfat.

Dengan adanya keempat smelter tersebut, kebutuhan bijih nikel kadar rendah pada tahun 2021 ditaksir mencapai 27 juta ton per tahun. "Totalnya butuh ore 27 juta, itu baru empat proyek. Apalagi nanti (smelter) yang sedang dibangun akan beroperasi juga," katanya.

Asal tahu saja, pertimbangan lain dalam percepatan larangan ekspor nikel lantaran banyaknya smelter nikel yang sudah ada di dalam negeri. Saat ini, sebanyak 11 smelter sudah terbangun dan 25 smelter dalam tahap pembangunan, sehingga totalnya bakal ada 36 smelter.

Baca Juga: Harga tembaga tertekan karena pelemahan data ekonomi China

Oleh sebab itu, dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas Permen ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang pengusahaan pertambangan minerba, hanya bijih nikel kadar kurang dari 1,7% yang masa pelarangan ekspornya dipercepat hingga menjadi 31 Desember 2019.

Sedangkan untuk penjualan bauksit yang telah dilakukan pencucian (washed bauxite) dengan kasar lebih dari atau sama dengan 42%, masih berlaku hingga 11 Januari 2022.

Sehingga, Yunus meminta supaya tidak ada spekulasi pasar. Sebab, selama belum ada peraturan baru yang diterbitkan secara resmi, maka regulasi yang ada masih tetap berlaku.

"Jadi masih sesuai dengan regulasi yang sudah terbit, selama belum ada perubahan," katanya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan mengatakan bahwa pemerintah membuka peluang untuk percepatan larangan ekspor pada jenis mineral mentah lainnya, seperti timah dan bauksit.

Baca Juga: Indo Tambangraya Megah (ITMG) komitmen penuhi ketentuan DMO

Hal itu dimaksudkan untuk memberikan nilai tambah pada penghiliran mineral dan mempercepat pengembangan industri di dalam negeri. "Kalau kita sudah ada investor-investor yang masuk untuk hilirisasi di timah, aspal, alumina, bauksit dan sebagainya, kenapa tidak?" kata Luhut seperti yang dilansir dalam Kompas.com, Kamis (12/9).

Namun, Yunus enggan untuk memberikan komentar atas pernyataan Luhut tersebut. "Untuk itu saya no commet. Saya bicara yang teknis saja," tandas Yunus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×