Reporter: Dimas Andi | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Pertamina (Persero) terus melakukan berbagai upaya untuk mengejar target produksi siap jadi atau lifting minyak nasional sebanyak 1 juta barel per hari (bph) pada tahun 2030 mendatang.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, hingga tahun lalu lifting minyak Indonesia baru mencapai 746.000 bph. Di sisi lain, ada beberapa prediksi yang menyebut lifting minyak Indonesia cenderung mengalami penurunan di tahun-tahun mendatang.
Baca Juga: SKK Migas dan KKKS siap optimalkan sumur tua
Sebagai salah satu perusahaan migas terbesar Indonesia, Pertamina terlebih dahulu mesti bisa menahan potensi penurunan produksi minyak nasional.
Nicke bilang, upaya pencarian cadangan minyak baru terus dilakukan oleh Pertamina. Tahun lalu Pertamina memulai kegiatan survei seismik laut regional 2D terbesar di Asia Pasifik dan Australia dalam 10 tahun terakhir.
Harapannya, dengan adanya survei seismik tersebut akan ditemukan cadangan minyak baru yang bisa dieksploitasi oleh Pertamina.
"Seismik 2D akan selesai semester II tahun ini. Kami investasikan lebih dari US$ 200 juta untuk kegiatan seismik," kata Nicke di Gedung DPR RI, Selasa (25/2).
Selain itu, Pertamina akan memaksimalkan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) untuk kebutuhan produksi minyak. Teknologi tersebut juga akan dipakai oleh Pertamina ketika memulai produksi minyak di Blok Rokan yang saat ini masih dalam tahap transisi dengan PT Chevron Pacific Indonesia.
Yang pasti, Pertamina akan terus fokus pada pengembangan sektor hulu yang menjadi poin krusial dalam mendongkrak produksi minyak secara nasional. "60% nilai investasi kami di tiap tahun ditujukan untuk sektor hulu," ujar Nicke.
Ia juga menyebut, Pertamina terus mengkaji potensi akuisisi blok minyak di luar negeri untuk membantu peningkatan produksi.
Di luar itu, Nicke yakin target lifting minyak 1 juta bph bukan tidak mungkin terealisasi lebih cepat yakni sekitar tahun 2026. Pasalnya, pada saat itu beberapa kilang baru Pertamina diperkirakan sudah mulai beroperasi.
Meski tidak merinci perkembangan proyek kilang, Nicke memastikan keberadaan kilang baru Pertamina tidak akan mubazir di tengah transisi energi fosil menuju energi baru terbarukan (EBT).
Baca Juga: Pertamina: Kunci penurunan harga gas industri ada di sektor hulu
Ia menilai, kebutuhan minyak di dunia masih akan sangat besar di masa mendatang terlepas dari adanya EBT. "Meski permintaan berpotensi turun, 2025 porsi fuel kemungkinan masih 21%. Sekarang saja kita masih impor," ungkap dia.
Selain itu, kilang baru Pertamina tak melulu bertujuan untuk mengolah minyak mentah saja, melainkan juga terintegrasi dengan industri pengolahan petrokimia. Selama ini, mayoritas bahan baku petrokimia masih diimpor dari luar negeri.
Nicke pun melihat pasar petrokimia di Indonesia masih cukup besar, sehingga kilang baru Pertamina diharapkan bisa menjadi nilai tambah bagi perkembangan industri tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News