kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45934,92   -28,81   -2.99%
  • EMAS1.321.000 0,46%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sinar Mas jatuh tujuh kali, bangkit delapan kali


Rabu, 28 September 2016 / 13:01 WIB
Sinar Mas jatuh tujuh kali, bangkit delapan kali


Reporter: Anastasia Lilin Y | Editor: Rizki Caturini

Ibarat artis ngetop, nama Grup Sinar Mas nyaris selalu menjadi buah bibir dan menjadi sorotan. Maklum, bisnis konglomerasi yang dirintis Eka Tjipta Widjaja  sanggup bangkit lagi setelah jatuh berkali-kali. Bahkan kini, kelompok usaha ini tercatat sebagai salah satu grup usaha terbesar di Tanah Air. 

Nah, jika grup usaha lain menunjuk krisis moneter tahun 1998 sebagai fase kejatuhan terdalam, lain cerita dengan Sinar Mas. Kelompok bisnis itu merasa limbung pada tahun 2001. Mereka menanggung utang US$ 13,5 miliar hanya dari bisnis kelapa sawit serta pulp and paper. Angka itu berkontribusi mayoritas bagi total utang Sinar Mas.

Harga kelapa sawit serta pulp and paper di pasar internasional yang terjun bebas yang menjadi biang kerok. Kala itu, satu ton kelapa sawit hanya dihargai US$ 350 per ton. "Ditambah country rating Indonesia juga sudah sangat rendah," kenang Gandi Sulistiyanto, Managing Director Sinar Mas Group saat dijumpai KONTAN di kantor Sinar Mas, akhir Agustus silam.

Pada masa itu bisnis keuangan Sinar Mas juga meriang. Bank International Indonesia (BII) nyaris kolaps, karena menanggung utang Sinar Mas sebesar US$ 1,43 miliar. Akhirnya, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) turun tangan memberikan jaminan. Dalam kondisi serba sulit, Sinar Mas kemudian merestrukturisasi bisnis. Opsi di depan mata adalah melepas bisnis tertentu dan mempertahankan selebihnya. Keputusan diambil, Sinar Mas melepas BII.

Pertimbangan Sinar Mas, BII adalah perusahaan sektor keuangan terbesar yang mereka miliki. Jadi kalau dijual, bisa signifikan membayar utang bisnis pulp and paper dijalankan lewat Asia Pulp & Paper (APP). 

Alasan lain, BII menyerap tenaga kerja paling sedikit. Ini berbeda dengan APP yang mempekerjakan 110.000 orang atau hampir separuh dari total tenaga kerja Sinar Mas, yang saat itu berjumlah 300.000 orang. "Perusahaan yang menyerap tenaga kerja terbanyak, yakni sektor kertas dipertahankan. Itu amanah  pendiri kami," ujar Gandi.

Pelan tapi pasti, Sinar Mas kembali bangkit. Pengalaman pahit dengan BII tak membikin mereka jera. Sembari mencicil utang, tahun 2005, Sinar Mas membeli Bank Shinta, cikal bakal Bank Sinarmas.

Badai belum berlalu

Kebetulan, Dewi Fortuna juga berpihak pada bisnis kelapa sawit. Harga komoditas bahan baku minyak goreng itu lalu naik di atas US$ 1.000 per ton.
Kantong yang kemudian menggembung, memicu Sinar Mas menjajal peruntungan bisnis baru; infrastruktur, energi, pertambangan serta telekomunikasi. Dus, bisnis Sinar Mas bersemi  lagi tahun 2008.

Namun, badai tak benar-benar berlalu. Hingga kini, tudingan sebagai perusak lingkungan masih membayangi bisnis kelapa sawit serta pulp and paper. Sinar Mas bersikukuh menampik tudingan tersebut. "Itu adalah persaingan bisnis global, Prancis dan Eropa terang-terangan anti sawit," elak Gandi.

Selain itu, tak semua pertimbangan bisnis Sinar Mas bernas. Pada bisnis telekomunikasi misalnya, Sinar Mas mengaku CDMA adalah buah  kesalahan memilih teknologi. Alhasil, Sinar Mas harus membereskan kesalahan yang dibuat sendiri.

Hanya saja, pepatah Jepang menyebut shichiten hakki, yang berarti jatuh tujuh kali bangun delapan kali. Sinar Mas sepertinya mempunyai banyak cara untuk kembali bangkit.            

Regenerasi 

Saat ini Eka Tjipta Widjaja tak lagi duduk di garda depan. Anak dan cucunya yang menjalankan roda bisnis Grup Sinar Mas. Setiap anak mengelola satu lini. Bisnis yang dipegang anak, otomatis menurun ke cucu.

Sinar Mas mengelompokkan ratusan perusahaan ke dalam enam pilar utama bisnis, yakni pulp and paper, jasa keuangan, pengembang dan real estat serta agribisnis dan makanan. Dua lini bisnis lagi adalah telekomunikasi serta energi dan infrastruktur.

Anak tertua Eka Tjipta, yakni Teguh Ganda Widjaja memegang pulp and paper, sedangkan Franky O. Widjaja menggawangi agribisnis dan makanan. Lantas, bisnis pengembang dan real estat dikendalikan Muktar Widjaja. Kalau Indra Widjaja kebagian jasa keuangan. Anak-anak mereka atau generasi III, sudah terlibat menjalankan bisnis bersama-sama.

Hanya bisnis energi dan infrastruktur yang langsung dipegang oleh generasi III. Fuganto Widjaja, anak Indra Widjaja mengawal bisnis yang antara lain membawahi PT Golden Energy Mines Tbk dan PT Berau Coal Energy Tbk itu. "Dipilih di antara generasi III, Pak Fuganto dianggap mampu dan bisa menjalankan," terang Gandi Sulistiyanto, Managing Director Sinar Mas Group, saat dijumpai KONTAN, akhir Agustus silam.

Menjalankan bisnis berbarengan antara generasi II dan III bukan tanpa kendala. Meskipun, pertalian darah mengikat mereka. Kendala biasanya muncul lantaran faktor latar belakang pendidikan dan komunikasi. Gaya kepemimpinan generasi III yang berlatar belakang pendidikan di luar negeri, berbeda dengan generasi II.

Namun, klan Eka Tjipta sudah sepakat dengan satu hal. "Kalau sudah diputuskan oleh anak tertua, yang lain mengikuti, walaupun dalam diskusi ada perbedaan pendapat," kata Gandi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet Using Psychology-Based Sales Tactic to Increase Omzet

[X]
×