Reporter: Tri Sulistiowati | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Skema SIMP (Seafood Import Monitoring Program) yang diusung oleh Atmospheric Administration (NOAA) dan US Commerce Trusted Trader Program dianggap bakal mematikan nelayan dan pengusaha perikanan berskala kecil. Karena, mereka akan terhalang dengan banyaknya persyaratan yang telah ditentukan. Asal tahu saja, dalam skema SIMP tersebut disebutkan bila para eksportir harus menyediakan informasi rantai pasok karena Pemerintah AS ingin tahu mengenai proses tangkap hingga sampai ke negara tujuan.
Thomas Darmawan Ketua Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) menilai, hal ini muncul karena adanya kecurigaan pemerintah terhadap nelayan Indonesia yang tidak mengikuti SOP tangkap ikan. "Aturan ini bagus, hanya saja kalau implementasinya tidak cermat, pengusaha kecil akan terjepit," pungkasnya.
Nilai ekspor ikan ke AS terancam turun bila skema tersebut diberlakukan. Namun Thomas memprediksi penurunan ekspor tidak akan turun tajam, lantaran tren ekspor saat ini pun sudah turun. Ekportir ikan nasional saat ini hanya didominasi oleh perusahaan besar yang memang sudah mendapatkan sertifikasi dan approval number. Thomas mengaku, saat ini ada sekitar 250 perusahaan eksportir yang sudah mendapatkan approval number.
Intinya skema ini mengatur tiga hal pokok. Pertama, pengklasifikasian at-risk species yaitu 17 spesies yang pernah tercatat sebagai hasil Illegal Unreported Unregulated Fishing (IUUF). Kedua, penerapan kewajiban traceability dan sertifikasi tangkap bagi at-risk species produk perikanan hasil tangkap maupun budidaya. Ketiga, penyediaan informasi rantai pasok mulai dari kapal, lokasi tangkap/budidaya, alat tangkap, proses pengangkutan, pengolahan, sampai dengan proses ekspor.
Indonesia selama ini banyak mengekspor udang, tuna, dan ikan lainnya ke AS. Berdasarkan data BPS, ekspor produk perikanan Indonesia ke dunia pada tahun 2015 tercatat sebesar US$ 3,60 miliar. Total ekspor produk perikanan nasional ke AS sekitar 40% dari nilai tersebut atau sebesar US$ 1,44 miliar. Nilai tersebut turun sebesar 21% atau 0,39 miliar dibandingkan tahun 2014 yang sebesar USD 1,83 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News