Reporter: Hendra Gunawan | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Pengamat perpajakan dari Tax Center Universitas Indonesia, Darussalam, menilai pengenaan pajak pertambahan nilai barang mewah (PPnBM) untuk ponsel pintar (smartphone) tidak bisa dipukul rata, lantaran barang tersebut sudah menjadi kebutuhan komunikasi umum.
"Menurut saya, untuk smartphone, PPnBM tidak bisa digeneralisasikan, harus dipilah-pilah. Untuk smartphone yang menunjukkan status, harus dibedakan dengan yang digunakan masyarakat bawah," kata Darussalam saat dihubungi Kompas.com, pada Minggu (22/9).
Ia mengatakan hal itu disebabkan smartphone saat ini sudah menjadi kebutuhan komunikasi baik masyarakat berpenghasilan tinggi maupun rendah. Adapun indikator untuk mengklasifikasi smartphone yang bisa dikenai PPnBM dan yang tidak adalah dari harga.
Dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Undang-undang Nomor 8 tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), pasal 5 disebutkan barang yang tergolong mewah dan dapat dikenakan pajak yakni: (1) barang yang bukan kebutuhan pokok, (2) barang yang dikonsumsi masyarakat tertentu, (3) barang yang umumnya dikonsumsi masyarakat tinggi, (4) barang yang digunakan untuk menunjukkan status.
"Sekarang tujuan dengan pengenaannya sendiri, keseimbangan konsumen berpenghasilan rendah dan tinggi. Kedua, untuk pengendalian pola konsumsi. Ketiga perlindungan produsen kecil dan tradisional. Keempat, penerimaan negara," jelasnya.
Untuk smartphone, lanjut Darussalam, sebenarnya ada tidaknya PPnBM tidak terlalu signifikan bagi penerimaan pajak negara. Namun, pengenaan PPnBM bisa dilakukan untuk menjaga pola konsumsi.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan, Gita Wirjawan mengklaim pembebasan smartphone dari PPnBM bisa menekan masuknya ponsel ilegal. Dari data KSO Sucofindo, sepanjang 2012 nilai impor ponsel mencapai US$ 1,9 miliar atau setara Rp 19 triliun.
Dengan potensi penyelundupan sebesar 30% dari produk yang beredar, kerugian negara akibat impor ilegal ditaksir mencapai Rp 6 triliun. (Kompas.com)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News