Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menelisik dugaan pelanggaran UU Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan Google dan anak usahanya di Indonesia. UU Nomor 5 Tahun 1999 mengatur tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
KPPU menduga, Google telah melakukan penyalahgunaan posisi dominan, penjualan bersyarat, dan praktik diskriminasi dalam distribusi aplikasi secara digital di Indonesia.
Menanggapi hal tersebut, Perwakilan Google mengatakan, Google Play telah mendukung developer Indonesia untuk maju dengan memberikan akses ke berbagai alat untuk membantu mereka mengembangkan aplikasi dan bisnisnya dengan baik. Serta memberikan dukungan agar mereka dapat terus berkembang.
“Kami juga terus mendengarkan berbagai masukan dari komunitas Play dan melakukan peningkatan fitur serta layanan kami,” kata dia kepada Kontan.co.id, Jumat (16/9).
Baca Juga: KPPU Selidiki Google dan Anak Usahanya di Indonesia, Kasus Apa?
Google mencontohkan, pada awal bulan ini, Google Indonesia meluncurkan fase selanjutnya dari program uji coba sistem penagihan sesuai pilihan pengguna (User Choice Billing) di Indonesia. Program ini memungkinkan developer untuk menawarkan sistem penagihan alternatif kepada pengguna, di samping sistem penagihan Google Play yang sudah ada.
“Kami berharap dapat bekerja sama dengan KPPU untuk menunjukkan bagaimana Google Play telah dan akan terus mendukung para developer Indonesia,” ucap perwakilan Google.
Sebelumnya, Direktur Ekonomi KPPU Mulyawan Ranamanggala mengatakan, KPPU selama beberapa bulan terakhir telah melakukan penelitian inisiatif yang berkaitan dengan Google, sebuah perusahaan multinasional asal Amerika Serikat yang berkekhususan pada jasa dan produk Internet.
Penelitian tersebut difokuskan pada kebijakan Google yang mewajibkan penggunaan Google Pay Billing (GPB) di berbagai aplikasi tertentu.
Baca Juga: KPPU Selidiki Google Terkait Dugaan Persaingan Usaha Tidak Sehat
GBP adalah metode atau pembelian produk dan layanan digital dalam aplikasi (in-app purchases) yang didistribusikan di Google Play Store. Atas penggunaan GBP tersebut, Google mengenakan tarif layanan/fee kepada aplikasi sebesar 15-30% dari pembelian.
Berbagai jenis aplikasi yang dikenakan penggunaan GPB tersebut meliputi aplikasi yang menawarkan langganan (seperti pendidikan, kebugaran, musik, atau video); aplikasi yang menawarkan digital items yang dapat digunakan dalam permainan/gim.
Aplikasi yang menyediakan konten atau kemanfaatan (seperti versi aplikasi yang bebas iklan); dan aplikasi yang menawarkan cloud software and services (seperti jasa penyimpanan data, aplikasi produktivitas, dan lainnya).
Kebijakan penggunaan GPB tersebut mewajibkan aplikasi yang diunduh dari Google Play Store harus menggunakan GPB sebagai metode transaksinya, dan penyedia konten atau pengembang (developer) aplikasi wajib memenuhi ketentuan yang ada dalam GPB tersebut. Google juga tidak tidak memperbolehkan penggunaan alternatif pembayaran lain di GPB. Kebijakan penggunaan GPB tersebut efektif diterapkan pada 1 Juni 2022.
Baca Juga: Google Diputus Melanggar Aturan Persaingan oleh Eropa, Regulator Lain Bisa Mengekor
Dari penelitian, KPPU menemukan bahwa Google Play Store merupakan platform distribusi aplikasi terbesar di Indonesia dengan pangsa pasar mencapai 93%.
Terdapat beberapa platform lain yang turut mendistribusikan aplikasi (seperti Galaxy Store, Mi Store, atau Huawei App Gallery), namun bukan merupakan subsitusi sempurna dari Google Play Store. Bagi pengembang atau developer aplikasi, Google Play Store sulit disubstitusi karena mayoritas pengguna akhir atau konsumen di Indonesia mengunduh aplikasinya menggunakan Google Play Store.
KPPU juga menemukan bahwa Google memberlakukan kebijakan untuk mewajibkan penggunaan GBP untuk pembelian produk dan layanan digital dalam aplikasi yang didistribusikan di Google Play Store.
“Aplikasi yang terkena kewajiban ini tidak dapat menolak kewajiban, karena Google dapat menerapkan sanksi penghapusan aplikasi tersebut dari Google Play Store atau tidak diperkenankan dilakukan update atas aplikasi tersebut. Artinya aplikasi tersebut akan kehilangan konsumennya,” kata Mulyawan dalam keterangan tertulis, Kamis (15/9).
Baca Juga: South Korea Fines Google, Meta Over Accusations of Privacy Law Violations
Kewajiban ini ditemukan KPPU sangat memberatkan pengembang aplikasi di Indonesia karena pengenaan tarif yang tinggi, yakni 15-30 % dari harga konten digital yang dijual. Sebelum kewajiban penggunaan GPB, pengembang atau developer aplikasi dapat menggunakan metode pembayaran lain dengan tarif di bawah 5%. Selain mengakibatkan kenaikan biaya produksi dan harga, kewajiban ini juga mengakibatkan terganggunya user experience konsumen atau pengguna akhir aplikasi.
Selain itu, KPPU juga menduga Google telah melakukan praktik penjualan bersyarat (tying) untuk jasa dalam dua model bisnis berbeda, yaitu dengan mewajibkan pengembang aplikasi untuk membeli secara bundling, aplikasi Google Play Store (marketplace aplikasi digital) dan Google Play Billing (layanan pembayaran).
Serta ditemukan bahwa untuk pembelian di aplikasi, Google hanya bekerja sama dengan salah satu penyedia payment gateway/system, sementara beberapa penyedia lain di Indonesia tidak memperoleh kesempatan yang sama dalam menegosiasikan metode pembiayaan tersebut.
Berbeda dengan yang perlakuan ditujukan bagi digital content provider global, dimana Google membuka provider untuk kerja sama dengan payment system alternatif.
“Dengan demikian berdasarkan analisis KPPU, berbagai perbuatan Google tersebut dapat berdampak pada upaya pengembangan konten lokal yang tengah digalakkan pemerintah Indonesia,” ucap Mulyawan.
Baca Juga: Dianggap Bermasalah Soal Praktik Periklanan Digital, Google Dituntut US$ 25,4 Miliar
Dalam proses penelitian, KPPU telah mendengarkan pendapat dari berbagai pihak dan dapat menyimpulkan bahwa, kebijakan Google tersebut merupakan bentuk persaingan usaha tidak sehat di pasar distribusi aplikasi secara digital.
KPPU menduga Google telah melakukan berbagai bentuk praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat berupa penyalahgunaan posisi dominan, penjualan bersyarat (tying in), dan praktik diskriminatif.
"Oleh karenanya, berdasarkan Rapat Komisi pada tanggal 14 September 2022, KPPU memutuskan untuk melanjutkan penelitian tersebut dalam bentuk penyelidikan dugaan pelanggaran Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999,” kata Mulyawan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News