Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Supreme Energy kembali memulai pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Muara Laboh fase kedua di Sumatra Barat setelah sempat tertunda akibat kendala perizinan dan penetapan tarif.
Proyek berkapasitas 80 megawatt (MW) ini ditargetkan beroperasi pada Oktober 2027.
President & CEO Supreme Energy, Nisriyanto, mengatakan pembangunan fase kedua akan melengkapi unit pertama berkapasitas 86 MW yang sudah beroperasi sejak akhir 2019.
Dengan tambahan tersebut, kapasitas terpasang PLTP Muara Laboh akan mencapai sekitar 160 MW, cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik sekitar 760.000 rumah tangga.
Baca Juga: PLTP Muara Laboh Unit 2 Ditargetkan Rampung 2027
“Unit kedua akan menggunakan teknologi double flash seperti unit pertama untuk mengoptimalkan potensi panas bumi yang belum dimanfaatkan,” ujarnya dalam keterangan resmi, Sabtu (18/10).
Founder & Chairman Supreme Energy, Supramu Santosa, menjelaskan bahwa proses pengembangan proyek ini memerlukan hampir lima tahun untuk memperoleh persetujuan dan tarif keekonomian.
Setelah tahapan itu dilalui, kata dia, konstruksi berjalan lebih lancar.
Menurut Supramu, pengerjaan unit kedua relatif lebih sederhana karena sebagian besar infrastruktur sudah tersedia sejak fase pertama. Fokus utama berada pada pengeboran tambahan dan pembangunan fasilitas pembangkit baru.
Baca Juga: PLTP Muara Laboh Meraih US$ 500 Juta
“Karena bersifat incremental construction, investasi Unit 2 menjadi lebih efisien dibanding Unit 1,” ujarnya.
PLTP Muara Laboh berperan penting dalam sistem kelistrikan Sumatra karena terhubung dengan jaringan transmisi dari Lampung hingga Aceh. Unit pertama saja telah menopang pasokan listrik untuk sekitar 440.000 rumah tangga di wilayah Riau dan sebagian Sumatra Utara.
Selain mendukung pasokan energi, proyek ini juga memberikan kontribusi ekonomi bagi daerah.
Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari PLTP Muara Laboh mencapai sekitar US$4,2 juta atau Rp 70 miliar per tahun, dengan setengahnya disalurkan ke Pemerintah Kabupaten Solok Selatan.
Meski memiliki manfaat besar, Supramu menilai keekonomian proyek panas bumi masih menjadi tantangan. Menurutnya, hambatan utama bukan pada pendanaan, melainkan pada harga jual listrik.
“Geotermal sangat sensitif terhadap volume, sementara tarif yang berlaku berdasarkan Perpres 112/2022 masih belum sepenuhnya ekonomis,” ujarnya.
Nisriyanto menambahkan, biaya awal pembangunan infrastruktur yang tinggi membuat proyek dengan kapasitas di bawah 100 MW sulit mencapai skala keekonomian.
Baca Juga: Proyek PLTP Muara Laboh Tahap Dua Capai Financial Close, Nilai Investasi US$ 500 Juta
Ia menilai, arah subsidi energi yang masih dominan ke bahan bakar fosil juga menjadi kendala dalam mempercepat transisi energi terbarukan.
Sementara itu, Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) bersama pemerintah sedang membahas kebijakan untuk meningkatkan daya saing proyek panas bumi di dalam negeri.
“Kita perlu menemukan keseimbangan antara kemampuan fiskal pemerintah dan kelayakan proyek,” kata Supramu.
Ke depan, Supreme Energy akan fokus menyelesaikan pembangunan Unit 2 sebelum melanjutkan pengembangan Unit 3 berkapasitas 60 MW.
Baca Juga: United Tractors (UNTR) Tambah Kepemilikan Saham di Supreme Energy Rantau Dedap
Perusahaan juga berencana mempercepat proyek PLTP Rajabasa di Lampung yang sempat tertunda karena kendala izin dan perjanjian jual beli listrik.
“Jika aspek keekonomian dapat terpenuhi, kami siap menghadirkan lebih banyak proyek panas bumi di masa mendatang,” tutup Supramu.
Selanjutnya: Swasta Aktif, Purbaya Ungkap Potensi Pajak Naik Rp 110 Triliun Tanpa Kebijakan Baru
Menarik Dibaca: Oppo Find X9 Pro Mengusung RAM 12 GB & Baterai Raksasa 7550 mAh! Intip Ulasannya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News