Reporter: Uji Agung Santosa |
JAKARTA. Penutupan Surabaya sebagai lokasi ekspor rotan diprotes oleh Yayasan Rotan Indonesia (YRI). Mereka meminta agar kebijakan itu dicabut. Kebijakan itu telah menghambat pengusaha rotan Surabaya, sekaligus menghilangkan penerimaan devisa negara mencapai US$ 27 juta per tahun.
Ketua Yayasan Rotan Indonesia (YRI) Lisman Sumardjani mengatakan, biasanya Surabaya mampu mengekspor 23.000 ton tiap tahunnya. Total ekspor itu berasal dari rotan jenis polish non-TSI sebanyak 8.000 ton dan natural washed & sulphured (W/S) TSI sebanyak 15.000 ton.
"Sudah dua tahun berlangsung, artinya devisa hilang sudah US$ 54 juta," kata Lisman. Ia mengatakan setiap ton rotan polish non-TSI harga freight on board (FOB) berkisar US$ 1.300, dan US$ 1.100 dolar untuk W/S TSI.
Namun akibat ketentuan ekspor rotan pemerintah melalui Permendag No. 36/M-DAG/PER/8/2009 Tentang Ketentuan Ekspor Rotan maka nilainya terus mengalami penurunan.
Dalam pasal Pasal 4 ayat 2 dan Pasal 5 ayat 8 peraturan itu disebutkan ijin ekspor hanya boleh dilakukan oleh pemegang izin Eksportir Terdaftar Rotan (ETR) di daerah penghasil rotan saja. Akibatnya, Surabaya tidak bisa melakukan ekspor.
“Rotan sebanyak 23.000 ton itu sekarang mengonggok dan dikhawatirkan akan segera hancur dimakan kutu dan menjadi bubuk dan debu," tegasnya.
Rotan tersebut merupakan hasil pengumpulan 76.000 orang petani pemungut rotan yang menghidupi 380.000 sampai setengah juta orang masyarakat yang hidup di tepi hutan di Kalimantan, Sulawesi maupun Nusatenggara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News