Sumber: TribunNews.com | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Menteri Perindustrian Saleh Husin dinilai mengingkari agenda Nawa Cita yang diusung Jokowi-Jusuf Kalla. Sebab, Saleh tidak memasukkan industri hasil tembakau (IHT) sebagai salah satu industri strategis nasional dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RPP RIPIN).
Menurut pakar pertembakauan, Kabul Santoso, salah satu agenda Nawa Cita adalah membangun industri yang tangguh dan berdaya saing untuk mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.
"IHT sudah jelas sebagai salah satu industri nasional strategis justru tidak dilindungi Pemerintah. Apakah Pak Saleh Husin sudah lupa dengan agenda Nawa Cita yang diusung Jokowi-JK?" kata mantan Rektor Universitas Jember ini di Jakarta, pekan lalu.
Menurut Kabul, RPP RIPIN yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian berada di bawah Kementerian Perindustrian seharusnya justru berjuang untuk mempertahankan IHT.
"Sejak era Presiden Soeharto sampai dengan SBY, mereka menetapkan IHT sebagai industri strategis dan prioritas. Kok, di zaman Menperin baru di bawah Kabinet Kerja Jokowi -JK justru malah digencet. Ini bagaimana cara berpikirnya? Apakah Jokowi-JK tahu keputusan anak buahnya?" imbuh Kabul.
Peneliti senior pertembakauan ini menegaskan, agar Menperin dalam hal pembangunan sektor industri sebagaimana tertuang dalam Agenda Nawa Cita, jangan sampai disisipi agenda tersembunyi asing yang justru akan mematikan keberadaan industri nasional.
Industri kretek nasional, tegas Kabul, memiliki socio-economic effect yang sangat besar. Tidak ada satu pun industri nasional yang kuat seperti IHT. "Kalau Menperin tidak memasukkan IHT sebagai satu dari sepuluh industri strategis ke dalam RPP RIPIN, semakin menegaskan bahwa Menperin sudah terkontaminasi oleh agenda asing," tegas ia.
Dihubungi terpisah, Ketua Umum Persatuan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) Sektor Rokok, Tembakau dan Minuman, Bonhar Darma Putra menyatakan, jika IHT tak masuk sektor industri strategis, maka sama saja pemerintah lepas tangan dan tak mau menjamin kelangsungan hidup industri tersebut.
Menurut Bonhar, pemerintah harus merevisi lagi RPP RIPIN dan memasukkan industri tembakau dalam RPP tersebut karena dari sisi kontribusi terhadap ekonomi dan daya serap tenaga kerja sangat besar, mencapai 6 juta orang. Jika pemerintah tak hati-hati, maka ia khawatir peraturan ini justru akan membuat ekonomi yang tengah lesu seperti sekarang ini makin bertambah berat.
Pasalnya, ia khawatir, industri juga akan setengah hati mendorong tembakau karena tak ada perlindungan hukum dari pemerintah. "Pemerintah harus merevisi dan tidak sembarangan menyusun aturan terkait industri hasil tembakau," tegasnya. (Sanusi)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News