Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Target mandatori biodiesel 50% (B50) atau Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar dengan 50% minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO) pada semester kedua tahun 2026 mendatang dinilai akan menjadi pemicu melejitnya harga CPO yang akhirnya berdampak pada harga Tandan Buah Segar (TBS) petani.
"Tentu hal ini akan mendongkrak harga CPO dan dengan naikknya harga CPO dengan sendirinya akan terdongkrak lah harga TBS petani. Karena rujukan harga TBS ini adalah harga CPO," ungkap Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung kepada Kontan, Senin (13/10/2025).
Memang, sebagai produsen dan eksportir CPO terbesar di dunia. Langkah Indonesia memaksimalkan produksi CPO untuk sektor energi dalam mandatori biodiesel akan berpengaruh pada harga CPO global.
Baca Juga: Anak Riza Chalid Kelly Andrianto dkk Didakwa Rugikan Negara Rp 285,1 Triliun
Berdasarkan data Apkasindo, harga CPO telah mengalami kenaikan sejak Indonesia menerapkan mandatori B30 lalu naik ke B35 dan selanjutnya naik ke B40.
"Secara rata-rata harga CPO naik rerata Rp1.000-1.500/kg dan harga TBS naik rerata dari tiap kenaikan campuran biodiesel tersebut Rp300-500/kg TBS. jadi sejak B30 sampai B40 secara rata-rata harga TBS sudah naik Rp1.200-1.500/kg TBS," jelas Gulat.
Disaat B30 harga TBS petani rata-rata Rp 1.800-2.200 dan saat ini sudah rerata Rp2.600-3.800/kg TBS.
"Artinya sangat terasa bagi kami petani sawit kenaikan bauran solar dengan minyak sawit yang sudah dicanangkan oleh Bapak Presiden Prabowo pada tahun 2026 di level B50 ini," tambahnya.
Meski begitu, Gulat mengatakan Indonesia masih berhadapan dengan tren penurunan produksi CPO sejak beberapa tahun belakangan.
"Jika melihat kondisi dan tren produksi CPO sepanjang 2023, 2024, dan 2025 ini saya memprediksi produksi CPO kita akan turun 3-5 juta ton akibat berbagai faktor," kata dia.
Salah satu faktor penyebabnya adalah kebun yang sudah diserahkan oleh Satgas Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) ke PT Agrinas Palma Nusantara (Persero).
Adapun, sesuai laporan saat rapat dengan DPR RI, lahan sawit seluas 833 ribu hektar (ha), dengan rincian 509 ribu hektar dalam keadaan rusak (rusak parah sampai rusak ringan) dan 323 ribu ha dalam keadaan tidak tertanam sawit atau sebagian belum menghasilkan.
"Jadi potensi penurunan produksi CPO Indonesia dari kebun yang rusak yang saat ini yang dikelola oleh Agrinas diperkirakan 1 juta ton. Tentu Agrinas butuh waktu paling tidak 3-5 tahun untuk pemulihan kebun rusak tersebut," jelas dia.
Faktor lain penyebab semakin turunnya produksi CPO adalah tidak tercapainya target Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) sejak digulirkan tahun 2017.
"Untuk tahun ini saja PSR baru 21 ribu hektar atau hanya 17,5% dari target 120 ribu ha di tahun 2025," kata dia.
Menurut Gulat, jika PSR ini berhasil dilaksanakan maka produksi CPO petani per hektar per tahun akan meningkat menjadi 6-9 ton.
"Kalau saat ini hanya pada kisaran 1,7-2,5 ton CPO/ha/tahun," ungkapnya.
Dalam perhitungan APKASINDO, kebutuhan CPO untuk Program B50 adalah sebanyak 18 juta ton atau 39% dari total produksi CPO Indonesia di tahun 2024 yang sebesar 46 juta ton.
Berdasarkan data Bandan Pusat Statistik (BPS) Produksi CPO di 2024 adalah 46 juta ton dengan rincian 20 juta dipakai untuk dalam negeri (44%) dan 26 juta ton di ekspor dengan berbagai produk turunan (56%).
"Maka jika B50 jalan, konsumsi dalam negeri akan naik menjadi 25 juta ton. Dimana konsumsi dalam negeri ini didominasi oleh kebutuhan energi (B50) sebesar 18 juta ton CPO sisanya untuk food dan oleokimia," tutupnya.
Baca Juga: OJK Sedang Lakukan Pendalaman Terkait Masalah Fintech Dana Syariah Indonesia
Selanjutnya: MPMX Bukukan Kenaikan Penjualan Mobil Bekas, Segmen Niaga Jadi Primadona
Menarik Dibaca: Adakan Fashion Take Program, Blibli Tiket Action Olah Limbah Tekstil Jadi Rompi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News