Reporter: Leni Wandira | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaku industri furnitur Indonesia menilai penetapan tarif bea masuk sebesar 19% oleh Amerika Serikat (AS) tetap menjadi tantangan berat bagi kinerja ekspor nasional.
Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur mengatakan meski angka tersebut lebih rendah dibanding potensi tarif maksimum sebelumnya, beban biaya tetap signifikan.
“Tarif 19% ini bukan sekadar angka kecil, terutama kalau dibandingkan dengan tarif preferensi mendekati nol yang pernah berlaku sebelumnya,” ujar Sobur kepada Kontan, Rabu (16/7).
Walaupun, lebih ringan dari ancaman tarif 32%, ini tetap menggerus margin eksportir furnitur dan meningkatkan risiko buyer AS mengalihkan order ke negara lain seperti Vietnam.
Vietnam saat ini dikenai tarif serupa di kisaran 18%. Dengan produktivitas tinggi dan efisiensi produksi yang lebih mapan, posisi Vietnam tetap menjadi kompetitor langsung bagi eksportir furnitur Indonesia di pasar AS.
Baca Juga: Tarif Trump Turun Jadi 19%, Istana: Terendah di Asia
Menurut Sobur, sebelumnya tarif terhadap produk furnitur Indonesia pernah menyentuh 32%. Dengan adanya kebijakan terbaru dari AS, beban itu memang turun 13 poin persentase, namun dibanding negara-negara dengan Most Favoured Nation (MFN) rate, tarif Indonesia masih tergolong tinggi.
“Jadi ini bukan penghapusan, hanya penurunan dari hambatan yang tadinya berpotensi jauh lebih berat,” jelasnya.
Lebih lanjut, HIMKI mencatat produk furnitur kayu merupakan kontributor utama ekspor nasional ke AS. Sekitar 60% ekspor furnitur Indonesia ke Negeri Paman Sam berasal dari wooden furniture seperti teak outdoor furniture, indoor furniture, dan kerajinan kayu, dengan nilai mencapai US$1,5 miliar per tahun.
“Yang paling terdampak adalah produk kayu menengah hingga premium. Buyer yang sensitif harga pasti akan menawar lebih rendah, ini tekanan langsung ke margin perusahaan,” kata Sobur.
Menanggapi situasi ini, HIMKI mendorong pemerintah untuk mengambil sejumlah langkah strategis. Pertama, diplomasi lanjutan agar tarif bisa diturunkan lebih rendah atau ada skema pengecualian untuk industri padat karya seperti furnitur.
Kedua, pemberian insentif fiskal termasuk kemudahan bunga pinjaman dan pembebasan bea impor bahan baku.
Ketiga, HIMKI mengusulkan pemerintah mempercepat diversifikasi pasar ekspor, antara lain memanfaatkan perjanjian IEU–CEPA ke Eropa, serta membuka akses lebih luas ke Timur Tengah dan Asia Selatan.
“Jangan sampai ekspor ke AS melambat, sementara kita belum kuat di pasar alternatif,” kata Sobur.
Baca Juga: Ini Produk-Produk Indonesia yang Terdampak Tarif 19% Trump
Selain itu, HIMKI juga menekankan pentingnya dukungan pemerintah terhadap percepatan peningkatan kapasitas produksi dan industrial upgrading agar produk lokal bisa tetap bersaing di segmen harga lebih tinggi.
“Dan yang tidak kalah penting, pemerintah perlu menjaga pasar domestik dari banjir produk impor dari China, Vietnam, atau AS sendiri. Kalau tidak diatur, tekanan akan datang dari dua sisi: ekspor sulit, pasar lokal tergerus,” imbuh Sobur.
Selanjutnya: Ini Cara Ajukan KUR Bank Mandiri, Limit, Syarat, dan Tabel Angsuran per Juli 2025
Menarik Dibaca: Peringatan Dini Cuaca Besok 17-18 Juli, Siaga Hujan Sangat Lebat di Provinsi Ini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News