Reporter: Dimas Andi | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Revisi Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara memang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI beberapa waktu lalu. Namun, hal ini belum menyelesaikan masalah lantaran masih diperlukannya aturan turunan dari UU Minerba untuk memperjelas implementasi beleid tersebut.
Sebelumnya, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak menyebut, ada tiga Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang sedang digodok oleh Kementerian ESDM dan jajaran pemerintah lainnya. Di antaranya RPP tentang pengelolaan pertambangan minerba, RPP terkait wilayah pertambangan, dan RPP terkait reklamasi dan pascatambang.
Pakar Hukum Pertambangan dari Universitas Hasanuddin Abrar Saleng mengatakan, pada dasarnya jangan sampai pembuatan RPP justru menimbulkan dualisme terhadap UU Minerba yang sudah ada sebelumnya.
Baca Juga: Pemerintah siapkan 3 rancangan PP sebagai aturan turunan dari UU Minerba anyar
“PP atau Permen merupakan aturan pelaksana. Tidak boleh itu diutak-atik untuk kepentingan tertentu yang melenceng dari undang-undang di atasnya,” ungkap dia, Selasa (2/6).
Ia menyoroti soal poin tata cara penetapan batas dan luas Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) yang diamanatkan agar diatur dalam peraturan pemerintah.
Poin ini cukup krusial dan mengundang kontroversi. Apalagi khusus WIUPK, dalam UU Minerba yang baru, disebut bahwa luas satu WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi pertambangan mineral logam dan batubara diberikan berdasarkan hasil evaluasi Menteri terhadap rencana pengembangan seluruh wilayah yang diusulkan pemegang IUPK.
Abrar bilang, secara norma, penentuan luas wilayah berdasarkan evaluasi Menteri sarat akan kepentingan dan bisa menimbulkan potensi korupsi di kemudian hari. Hal ini pun belum tentu menjadi jaminan terciptanya kepastian hukum bagi para pelaku usaha pertambangan di Indonesia. “Kalau Menterinya tidak cocok, investor juga yang akan dirugikan,” kata dia.
Ia menilai, seharusnya luas wilayah pertambangan tetap ditentukan berdasarkan ketentuan yang ada. Dalam hal ini, WIUPK untuk tahap operasi produksi pertambangan mineral logam ditetapkan maksimal 25.000 hektar (Ha) sedangkan pertambangan batubara maksimal 15.000 Ha.
Sementara itu, Direktur Center for Indonesia Resources Strategic Studies (CIRRUS) Budi Santoso mengatakan, keberadaan PP terkait penetapan WIUP dan WIUPK penting mengingat akan sangat menentukan kelayakan dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minerba.
Baca Juga: Ini PR Bagi Dirjen Minerba yang Baru
Selain itu, secara konsep luas, WIUP ataupun WIUPK tidak dikaitkan dengan jenis mineral, melainkan dengan potensi sumber dayanya. “Karena keekonomian tambang selalu dikaitkan dengan potensi sumber daya dan cadangannya,” imbuh dia, hari ini.
Budi menyatakan, masih ada beberapa poin di UU Minerba yang perlu penjelasan lebih lanjut di dalam peraturan turunannya. Selain poin mengenai kemudahan-kemudahan eksplorasi tambang, peraturan turunan juga mesti bisa mempermudah pemanfaatan mineral ikutan dalam kegiatan pertambangan, dan peningkatan nilai tambah bagi pengolah dan pemurnian independen.
Tak hanya itu, regulasi turun UU Minerba mengenai kewajiban divestasi saham bagi perusahaan tambang yang dikuasai asing juga tak kalah penting. “Divestasi tidak hanya pada pemilik IUP, tetapi jasa dan kontraktor di industri tambang juga perlu dibatasi kepemilikan asing,” jelas dia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News