Reporter: Dimas Andi | Editor: Anna Suci Perwitasari
Abrar bilang, secara norma, penentuan luas wilayah berdasarkan evaluasi Menteri sarat akan kepentingan dan bisa menimbulkan potensi korupsi di kemudian hari. Hal ini pun belum tentu menjadi jaminan terciptanya kepastian hukum bagi para pelaku usaha pertambangan di Indonesia. “Kalau Menterinya tidak cocok, investor juga yang akan dirugikan,” kata dia.
Ia menilai, seharusnya luas wilayah pertambangan tetap ditentukan berdasarkan ketentuan yang ada. Dalam hal ini, WIUPK untuk tahap operasi produksi pertambangan mineral logam ditetapkan maksimal 25.000 hektar (Ha) sedangkan pertambangan batubara maksimal 15.000 Ha.
Sementara itu, Direktur Center for Indonesia Resources Strategic Studies (CIRRUS) Budi Santoso mengatakan, keberadaan PP terkait penetapan WIUP dan WIUPK penting mengingat akan sangat menentukan kelayakan dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minerba.
Baca Juga: Ini PR Bagi Dirjen Minerba yang Baru
Selain itu, secara konsep luas, WIUP ataupun WIUPK tidak dikaitkan dengan jenis mineral, melainkan dengan potensi sumber dayanya. “Karena keekonomian tambang selalu dikaitkan dengan potensi sumber daya dan cadangannya,” imbuh dia, hari ini.
Budi menyatakan, masih ada beberapa poin di UU Minerba yang perlu penjelasan lebih lanjut di dalam peraturan turunannya. Selain poin mengenai kemudahan-kemudahan eksplorasi tambang, peraturan turunan juga mesti bisa mempermudah pemanfaatan mineral ikutan dalam kegiatan pertambangan, dan peningkatan nilai tambah bagi pengolah dan pemurnian independen.
Tak hanya itu, regulasi turun UU Minerba mengenai kewajiban divestasi saham bagi perusahaan tambang yang dikuasai asing juga tak kalah penting. “Divestasi tidak hanya pada pemilik IUP, tetapi jasa dan kontraktor di industri tambang juga perlu dibatasi kepemilikan asing,” jelas dia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News