kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,75   -27,98   -3.02%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tertekan impor, penjualan tekstil Q2 anjlok


Rabu, 05 Juli 2017 / 14:43 WIB
Tertekan impor, penjualan tekstil Q2 anjlok


Reporter: Tane Hadiyantono | Editor: Rizki Caturini

JAKARTA. Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mencatat penurunan permintaan tekstil di kuartal II 2017 sebesar 30% dibanding kuartal sebelumnya. Ketua Umum API, Ade Sudrajat menyatakan, hal ini menjadikan tahun ini menjadi penjualan di momen Lebaran terburuk dibanding tahun-tahun sebelumnya.

"Faktornya ada banyak sekali, tentu karena sebetulnya daya beli ini didukung oleh gaji ke-13, tapi karena diisi barang impor maka kita kalah di daya saing," kata Ade saat dihubungi KONTAN, Rabu (5/7).

Ade juga menambahkan bahwa mekanisme perpajakan juga sangat merugikan pengusaha tekstil Indonesia. Kebijakan Dirjen Pajak yang tidak memperbolehkan penjualan ke Non Pengusaha Kena Pajak (PKP) menyandera pengusaha Tanah Abang.

Pasalnya hampir 70% pengusaha di pasar tekstil terbesar di Asia Tenggara ini belum memiliki PKP. Namun saat pengusaha hendak mengajukan PKP malah ada persyaratan Pemda untuk melengkapi SIUP dan TDP.

"Pengajuan nya itupun ada banyak sekali, harus ada sertifikat IMB dan PBB. Ada syarat di atas syarat lain, dan akhirnya di gudang tertumpuk dan tidak tertahankan," kata Ade.

Keputusan Dirjen Pajak untuk mewajibkan kelengkapan faktur faktur penuh, NPWP dan persyaratan lain memberatkan pengusaha Tanah Abang. Ade mengharapkan Kementerian Pajak mampu bergerak dengan lebih adil dan tidak memberatkan pengusaha semata, namun juga mengedukasi pembeli untuk patuh ikut wajib pajak. Sebabnya, bila pengusaha terus ditekan maka target tahunan bisa tidak tercapai dan PPH akan ikut terpengaruh.

Potensi ekspor minim

Walau industri tekstil Indonesia memiliki potensi masuk ke pasar ekspor, namun tetap berat. Sebab, biaya produksi tekstil dalam negeri masih sangat terbebani biaya energi dan listrik yang jauh lebih tinggi dibanding negara tetangga di kawasan Asia Tenggara.

Ade menyayangkan kebijakan pemerintah yang menjual gas dengan harga tinggi. Misal harga gas industri saat ini berkisar US$ 8,3-US$ 9 per mmbtu. Sedang di Malaysia harga gas industri hanya US$5-US$6 per mmbtu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×