Reporter: Dea Chadiza Syafina |
BONTANG. Kontrak kerja sama dengan operator gas Total E&P Indonesia dalam pengelolaan Blok Mahakam akan berakhir tahun 2017. Meski begitu, hingga saat ini pemerintah belum memutuskan apakah kerja sama dengan Total akan diperpanjang atau tidak.
Vice President Human Resource, Communication, General Service and Audit Total Indonesia A. Noviyanto mengatakan, Total E&P sangat berharap dapat melanjutkan kerja sama ini. "Setidaknya kami bisa tetap berkontribusi di masa transisi. Masih banyak yang harus dikerjakan dan mungkin belum selesai saat masa kontrak berakhir," kata Noviyanto kepada Komisi VII DPR yang melakukan kunjungan kerja ke Bontang, Selasa (6/11).
Cadangan gas dan minyak di Blok Mahakam diperkirakan sudah sangat berkurang. Bahkan dari 112 kontrak kerja sama yang ada di Kaltim, baru 19 kontrak kerja sama yang sudah beroperasi. Menurut Noviyanto, cadangan gas yang ada di Blok Mahakam, Kalimantan Timur terus menurun.
Karena itu, jika tidak dilakukan pengeboran baru dan melakukan sejumlah tindakan, maka diperkirakan akan menurun hingga 50% per tahun. "Kami telah melakukan sejumlah tindakan agar penurunan bisa diminimalisir. Dari upaya yang telah dilakukan penurunan bisa ditahan hingga 24% per tahun. Kami juga mempercepat jadwal perluasan pengeboran, yang seharusnya dilakukan akhir Desember, tetapi kami sudah melakukannya pada awal Oktober lalu. Ini bagian dari upaya pencegahan penurunan produksi," ujar Noviyanto.
DPR tak setuju dengan Total
Sementara itu, Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Effendi Simbolon mengatakan, sebaiknya kerja sama dengan pihak Total E&P itu tidak dilanjutkan. Politikus dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini menambahkan, Blok Mahakam sebaiknya diserahkan kepada Pertamina selaku perusahaan migas nasional.
Dikatakan Effendi, pemerintah tidak bisa memakai alasan Indonesia belum mampu. Sebab, jika memang belum mampu, maka pemerintah juga harus menjelaskan mengapa belum mampu. "Keunggulan Indonesia adalah sumber daya alam, jadi sebaiknya tidak diserahkan ke asing. Australia juga tidak memberikan sumber daya alamnya untuk dikelola asing. Seharusnya Indonesia bisa melakukan hal yang sama. Dan menurut kami bangsa kita mampu melakukan itu," ungkap Effendi.
Pada kesempatan yang sama, Deputi Operasional BP Migas Gede Pradnyana mengatakan, siapa pun yang akan menjadi operator di Blok Mahakam tidak bisa sendirian. Sebab menurutnya, persoalannya bukan hanya menyangkut permodalan, tetapi juga intelektual dan teknologi.
Gede mencontohkan, Total E&P Indonesia dalam mengelola Blok Mahakam juga berpartner dengan Inpex. Karena itu, menurut Gede, akan lebih baik jika Pertamina bekerja sama dengan perusahaan lain untuk mengelola Blok Mahakam, jika nantinya dipercayakan oleh pemerintah untuk mengelola.
Gede menambahkan, modal investasi untuk menemukan sumber gas baru sangat besar. BP Migas memperkirakan butuh dana investasi minimal sebesar US$ 2 miliar per tahun. Karena itu, untuk memperkecil risiko bisnis migas yang sangat besar, Pertamina perlu bekerja sama dengan pihak lain.
Menurut Gede, kerjasama perlu dilakukan Pertamina lantaran operator minyak dan gas pelat merah itu dinilai belum mempunyai kemampuan di bidang teknologi maupun investasi yang memadai untuk dipercaya mengelola Blok Mahakam secara mandiri.
"Pengetahuan teknologi, kemampuan dan juga pengalaman yang patut dimiliki, saya kira juga merupakan hal yang penting. Tidak semata-mata karena masalah uang ataupun modal saja," ungkap Gede.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News