Reporter: Dina Farisah | Editor: Rizki Caturini
Eksistensi PT Kalbe Farma Tbk hingga usia 50 tahun tak mudah. Perusahaan yang didirikan Dr Boenjamin Setiawan dan lima rekannya sejak 1966 ini melewati banyak kisah, termasuk krisis ekonomi yang terjadi tahun 1997/1998 dan tahun 2008.
Kalbe bahkan menjadi salah satu saksi mata atas resesi yang menghantam industri farmasi. Tapi, sejarah juga menorehkan catatan, Kalbe mampu bertahan, melewati, bahkan bisa mengembangkan sayap hingga saat ini.
Resesi ekonomi di 1998 membuat nilai tukar rupiah melemah terhadap dollar Amerika Serikat. Rupiah yang kala itu di Rp 3.000 per dollar AS terbang hingga Rp 15.000. Sebagai produsen obat, Kalbe menghadapi tantangan berat lantaran bahan baku obat harus impor. Biaya impor naik berlipat-lipat.
Masalahnya, saat yang sama, menaikkan harga obat jelas tak mungkin. Resesi membuat daya beli masyarakat melemah. "Tak ada pilihan, kami harus bertahan agar hidup," ujar Vidjongtius. Serangkaian strategi dibuat. Utamanya adalah penghematan internal perusahaan. Antara lain: penggunaan AC, air, bahkan kertas diatur perusahaan.
Pendingin ruangan hanya boleh menyala dua jam saat hari kerja agar beban perusahaan berkurang. "Langkah ini kami lakukan agar tak ada pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan yang saat itu jumlahnya di atas 1.000 orang," ujarnya.
Selain berhemat, Kalbe juga memilih untuk transparan ke karyawan. Utamanya soal kondisi perusahaan agar mereka paham apa yang dihadapi perusahaan. Mereka sepakat untuk menanggung resesi bersama, termasuk tak ada kenaikan gaji.
Perpanjangan utang
Apalagi, pada saat sama, perusahaan ini juga harus menghadapi masalah yakni tagihan utang yang naik berlipat-lipat lantaran kenaikan dollar AS. Kreditur minta utang dibayar.
Restrukturisasi utang jadi pilihan. Vidjongtius yang kala itu ikut serta dalam proses restrukturisasi utang menjelaskan, Kalbe mengundang 35 bank untuk memaparkan kondisi keuangan perusahaan ini. "Kalbe bukan tak punya uang. Tapi bila semua untuk membayar utang jatuh tempo, kami tak punya uang untuk membeli bahan baku," jelas dia.